Rasa Keadilan Jangan Ternodai
melalui proses panjang dan ketat, Guru Besar FH Universitas Padjadjaran
(Unpad) Bandung kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941, ini diangkat menjabat Ketua
Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Kariernya di bidang hukum tergolong
panjang. Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Hukum dan Perundang-undangan
Departemen Kehakiman.
Sebelumnya, ia menjabat Direktur Perundang-undangan
Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1990-1995), serta
dosen luar biasa di UI, UGM dan sejumlah perguruan tinggi lain.
Ayah
dari tiga anak dan suami dari Dra Hj Komariah ini juga menjabat sebagai Rektor
Universitas Islam (Unisba) Bandung. Ia alumnus FH Unpad (1967), Master of
Comparative Law Southern Methodist di University Law School Dallas Texas AS
(1981), dan doktor ilmu hukum tata negara lulusan Unpad tahun 1990.
Sebelum dipilih menjabat Ketua MA, ia menjabat Wakil Ketua Komisi Ombudsman
Nasional dan mempunyai tujuh lokal tanah yang terletak di Jawa Barat dan
Lampung. Tiga lokal yang berada di Jabar masing-masing seluas 400 meter persegi
(di Cibeunying Kecamatan Cicadas, Bandung), 690 meter persegi (di Cipadung
Kecamatan Cibiru, Bandung), dan 400 meter persegi di kompleks Perumahan Unpad,
Jatinangor.
Selain itu ia mempunyai tiga mobil, yaitu sedan merek Toyota Corolla 1.600 cc
tahun 1995, sedan merek Mitsubishi Lancer 1.500 cc tahun 1992, dan jeep merek
Toyota Land Cruiser Hardtop tahun 1980. Bagir juga pemilik tabungan dan deposito
di BNI kantor cabang Unpad senilai Rp 55 juta, serta di Bank HSBC cabang Bandung
sebesar Rp 30 juta.
Perkara Korupsi
Bukan berarti apriori
menginginkan orang dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Pelakunya harus dibui. Itu
tergantung pembuktiannya. Tapi, rasa keadilan masyarakat jangan ternodai.
Bisakah kita berharap hukum akan segera ditegakkan di negeri ini? Sayang,
masih banyak yang menyangsikan. Betapa tidak? Mahkamah Agung (MA) saja, sebagai
benteng terakhir keadilan yang kini sudah diisi hakim-hakim agung nonkarier,
dinilai belum mampu memberikan putusan yang pasti dan memenuhi rasa keadilan
masyarakat.
Untuk mengetahui kinerja MA itu Barly Haliem Noe mewawancarai Ketua MA Bagir
Manan di kantornya belum lama ini. Berikut petikannya:
Beberapa waktu lalu Anda membentuk tim klarifikasi untuk meninjau beberapa
putusan majelis hakim agung. Bisa diungkapkan hasilnya?
Ada dua tim. Tim
pertama menyangkut klarifikasi perkara Tommy Soeharto dengan anggota Pak
Bustanul Arifin, Pak Purwoto, dan Pak Djoko Sugianto. Tim kedua beranggotakan
Pak Adnan Buyung, Pak Suhadibroto, dan Pak Johansyah baru kita bentuk untuk
perkara Joko Tjandra. Untuk yang Tommy Soeharto, laporannya sekarang sedang
disusun tim kecil di sini untuk disatukan dan sedang dibuat
kesimpulan-kesimpulan. Untuk perkara Joko Tjandra kan baru timnya yang dibentuk.
Yang jelas, saya tidak akan menunda-nunda sanksi untuk hakim-hakim suap.
Anda sekarang menyebut itu tim klarifikasi, tapi kok sebelumnya disebut
sebagai tim eksaminasi?
Yang omong tim eksaminasi pasti bukan Ketua MA. Itu
yang omong surat kabar, ha, ha, ha…. Kami tidak membentuk tim eksaminasi, dan
itu berarti kita tidak sedang melakukan eksaminasi. Ini jelas beda.
Eksaminasi itu sempit, karena hanya untuk menguji apakah putusan itu secara
teknis benar atau tidak. Sedangkan klarifikasi itu bukan hanya melihat teknis
putusan, melainkan juga melihat aspek lain. Misal, apakah putusan itu diambil
berdasarkan kolusi apa enggak. Ada korupsi apa enggak.
Untuk sampai ke situ,
tidak bisa hanya dengan eksaminasi, karena eksaminasi hanya memeriksa teknis
putusannya. Kemudian, andai hasil eksaminasi itu mengatakan salah, apa tindak
lanjutnya? Kan enggak ada apa-apa. Upaya hukum untuk mengoreksi itu sudah tidak
ada lagi. Makanya, yang penting kita bisa menemukan latar belakang keputusan
itu; membuktikan ada apa-apa tidak dengan kesalahan putusan itu.
Berarti, hasil kerja tim klarifikasi itu mestinya lebih tegas dan keras
ketimbang tim eksaminasi, ya?
Ya, mestinya. Kita kan ingin mengungkap bila
ada laporan keganjilan atau kejanggalan dalam suatu putusan. Ini juga menyangkut
apakah putusan ini diperoleh secara jujur, ada kolusi, ada main mata, atau
bagaimana. Saya beri tahukan saja, salah satu bagian klarifikasi untuk perkara
Tommy Soeharto dalam ruislag Bulog itu ada hakim agung yang dituduh menerima
uang suap Rp 5 miliar. Karena itu, saya bilang, ”Kalau cukup alasan saja ada
penyimpangan, enggak perlu indikasi, teruskan saja pada penyidikan.” Saya sudah
menelepon Kapolri untuk itu, dan beliau menanggapi positif. Itu salah satu
bagian klarifikasi. Kalau sampai terbukti putusan itu dibuat berdasarkan tindak
kriminal, baru kita menetapkan sanksi yang sangat tegas.
Kalau sudah melibatkan polisi, paling tidak ada indikasi awal, dong?
Ha,
ha, ha…. Jangan terlalu cepat meminta hasilnya. Berilah kami waktu. Sebab, untuk
memeriksa berkas setebal ini (seraya mengembangkan tangannya) saja perlu berapa
lama untuk membaca satu per satu? Polisi perlu waktu juga, dong. Kalau semua
ingin yang cepat-cepat, itu omong kosong. Sebab, targetnya bukan lagi menemukan
bahwa putusan itu secara teknis salah. Targetnya kan sampai pada putusan itu
dibuat berdasarkan tindakan kriminal atau tidak. Kalau hanya putusan, sudah
tidak ada lagi yang bisa dikerjakan atau digali.
Kalau sanksinya lebih
tegas, jangan-jangan nanti hakim agung di MA makin habis?
Ha, ha, ha…. Saya
punya satu kesimpulan: klarifikasi itu jelas lebih tegas. Yang perlu Anda catat,
ini tidak hanya cukup berhenti sampai kesimpulan. Yang ada di otak saya bukan
itu. No! Kalau hanya eksaminasi seperti itu, kan hanya pekerjaan ilmiah.
Paling-paling nanti hakimnya hanya dinilai secara unprofessional conduct dalam
pengambilan putusannya.
Kita harus sudah bicara kenapa ada unsur-unsur itu.
Serahkan saja sama tim yang sekarang sedang membuat laporan-laporannya. Kalaupun
hasilnya sedemikian buruk seperti yang Anda katakan, enggak masalah. Lebih baik
hakim agungnya sedikit dengan integritas moral tinggi daripada banyak tapi
merugikan.
Untuk kasus Tommy, Anda kan pernah memberikan pendapat hukum bahwa dia harus
menjalani utang penjara 18 bulan sesuai putusan kasasi. Tapi, nyatanya jaksa
tidak segera menjalankannya. Bagaimana ini?
Wah, itu saya tidak tahu kenapa.
Kalau hakim tidak segera melaksanakan putusan, tentu akan segera saya tegur.
Tapi, kalau jaksa, itu bukan wewenang saya. Siapa? Harusnya tahu. Yang jelas,
kita sudah memberikan jalan atas kebuntuan proses hukum saat itu.
Jaksa
Agung meminta pendapat hukum kepada saya, dan saya sudah memberikan pendapat
seperti yang dia minta. Kalau ternyata tidak dilaksanakan, itu hak Jaksa Agung.
Kewenangan itu bukan tanggung jawab kami.
Pemeriksaan tim klarifikasi kan terkait dengan orang-orang dalam. Apa tidak
menimbulkan gejolak internal MA. Maklum, orang kan tahunya hakim-hakim itu
jarang bersih dari suap, sementara pemeriksanya orang dari luar?
Oh, tidak.
Sebab, di sini, khususnya antarpimpinan kan sudah ada kesepakatan bahwa tim
klarifikasi harus dibentuk; apa pun hasilnya. Kita juga sudah sepakat, sekalipun
kita mengambil dari luar, jangan sampai menghambat penegakan wibawa MA.
Memang, sempat ada yang menanyakan komposisi tim ini karena —seperti yang
sudah menjadi kelaziman selama ini— tim pemeriksanya orang-orang dalam sendiri.
Apa pun timnya, kalau dari dalam, orang akan selalu meragukan integritasnya.
Maka, untuk merespon suara dari luar itu kita ambillah orang dari luar.
Apakah hasil klarifikasi ini bakal disandingkan dengan perkara-perkara
terkait? Sebab, beberapa kasus tindak korupsi kan dilakukan bersama-sama, tapi
vonisnya berlainan. Sebutlah Gubernur BI Sjahril Sabirin diputus bersalah,
sementara Joko Tjandra dan Pande Lubis bebas?
Oh, kita enggak pernah
berorientasi pada putusan-putusan lain. Kita betul-betul fokus pada materi yang
bersangkutan saja. Kecuali satu putusan sudah menjadi doktrin umum,
yurisprudensi, itu bisa saja seorang hakim mempertimbangkan putusan-putusan lalu
dengan kasus-kasus yang berjalan. Okelah, dikatakan satu perbuatan dilakukan
bersama-sama tapi vonisnya beda. Tapi ingat, klarifikasi ini terkait dengan
latar belakang putusan; bukan untuk melakukan klarifikasi terhadap perkara yang
diputuskan.
Tentunya pembuktian keterkaitan antarterpidana atau
antarterdakwa atau antarcalon terdakwa dilakukan jaksa; bukan hakim. Hakim
memutus berdasarkan dakwaan.
Pembuktiannya bukan wewenang hakim. Dari
mana ceritanya untuk memutuskan satu perkara berdasarkan inisiatif
hakim?
Berbahaya sekali. Pekerjaan kita itu satu-satu enggak ada
pengaruh-pengaruhnya. Dan, putusan itu kan independen. Bahwa hakim memperhatikan
ini, ya silakan. Tapi, bukan berarti harus ada satu garis kebijakan
memperhatikan perkara lain. Itu sudah mencampuri.
Sekarang ini pengadilan menjadi sorotan karena kasus-kasus besar mulai
disidangkan. Bahkan, beberapa majelisnya ada yang merangkap-rangkap segala.
Persidangan Akbar Tanjung juga terlambat gara-gara ribut pindah tempat. Apa Anda
tidak khawatir kinerja hakim akan makin tidak optimal?
Ya, kalau soal
perkaranya, putusannya, sekali lagi saya katakan itu independen masing-masing
hakim. Hanya, untuk jadwal sidang, bagaimana ini bisa terlambat? Makanya
kemudian melalui Ketua Muda Pengawasan (Mariana Sutadi) kita tegur. Kalau nanti
ditemukan unsur kesengajaan, jalurnya kita koordinasi dengan Departemen
Kehakiman untuk mengambil tindakan atas kesengajaan itu.
Contohnya perkara
praperadilan Ginandjar. Kemarin ada surat kabar yang salah besar menulis bahwa
MA sengaja menyimpan perkara itu. Lo, gimana, sih. Wong malah Ketua MA-nya yang
marah-marah karena tujuh bulan enggak sampai di sini; kok malah MA yang
dimaki-maki dibilang menyimpan perkara Ginandjar. Yang begini ini saya tidak
bisa terima.
Artinya, keterlambatan itu pun harusnya juga diperiksa. Mengapa
sampai terlambat? Saya tidak bisa terima kalau alasannya komputer rusak. Itu
enggak profesional. Itu enggak masuk akal.
Begitu saya menerima laporan ada
pemalsuan putusan MA yang terjadi di pengadilan Jakarta Timur, saya langsung
lapor sama Kapolri agar itu ditindak.
Pada kasus-kasus BLBI, Anda pernah menyatakan: jangan beleid pemerintah yang
diadili, tapi soal penyelewengannya. Untuk itu, mestinya jaksa juga memperbaiki
dakwaannya. Tapi, kelihatannya itu tidak juga dilakukan. Apa sebaiknya perlu ada
tangan besi agar penegakan hukum tidak kebobolan lagi?
Ya, sekali lagi, saya juga tidak habis pikir. Mestinya, perkara korupsi yang
jelas-jelas menyangkut kepentingan umum yang lebih luas harus diperhatikan
betul. Kalau misalnya perlu waktu lama, tapi hasilnya optimal, enggak masalah.
Daripada terburu-buru tapi hasilnya nol.
Misalnya, yang terbaru untuk
perkara korupsi Rp 1,29 triliun dari Bank Servitia yang ada di Jakarta Barat.
Itu kan hanya dihukum satu tahun, ya. Saya tadi baru saja ditelepon Jaksa Agung.
Beliau bilang, ”Kenapa kok bisa begini?” Saya langsung bilang, ”Jaksa Anda suruh
saja segera banding.” Harusnya jaksa itu memperbaiki dakwaannya. Jangan disuruh
dulu. Kan kewenangan banding ada di mereka. Kalau tidak puas dengan hukumannya,
segera saja banding.
Apalagi, sekarang dalam beberapa pasal KUH Pidana ada
pidana maksimal, tidak ada minimal. Kita kan melaksanakan UU. Kalau memang sudah
ketahuan korupsi, ya jangan jatuhkan minimalnya. Sudah ketahuan minimalnya lima
tahun, jaksanya cuma menuntut lima tahun. Hanya, tentunya dakwaan jaksa juga
harus bisa membuktikan itu, dong. Jangan perangkatnya sudah siap, tapi dakwaan
penuh bolong. Bukan berarti saya menginginkan orang dijatuhi hukuman
seberat-beratnya. Tapi, rasa keadilan masyarakat kan ternodai. Itu korupsi Rp
1,29 triliun kan sudah terbukti.
Bagaimana dengan ulah terdakwa yang mengembalikan harta yang dikorupsinya
untuk meringankan hukuman?
Semua orang juga bisa berjanji mau mengembalikan.
Itu omong kosong saja. Semua orang bisa saja berjanji mau membayar, tapi setelah
itu dilupakan. Beberapa kali ada kasus begitu, bukan hanya yang
terakhir-terakhir ini diputus. Ada yang sudah berjanji di perdamaian, tapi
akhirnya digugat lagi karena enggak dibayar juga. Itu di bidang hukum bisnis,
ya. Apalagi ini kepada negara. Jadi, pengembalian hasil korupsi itu tidak
menutup proses hukumnya.
Nah, dalam kasus dana nonbujeter Bulog, terdakwa Winfried Simatupang kan
sudah mengembalikan duit Rp 40 miliar?
Ha, ha, ha… Jangan ngomongin perkara
yang masih disidangkan. Makanya, antara polisi, jaksa, dan hakim harus ada
komunikasi. Kalau dari sudut saya, selain surat resmi, tak henti-hentinya saya
juga omong agar perkara-perkara korupsi itu betul-betul ditangani secara
sungguh-sungguh. Dalam petunjuk kami, untuk perkara-perkara yang menjadi
perhatian umum hendaklah jangan terlalu terikat pada formalitasnya selama tidak
mengancam hak-hak orang. Jadi, masuk saja ke dalam pokok perkara agar
kebenarannya ditemukan dalam pokok perkara itu. Kalau memang tidak terbukti, ya
bebaskan. Termasuk juga soal BLBI.
Kita enggak bisa apriori, pelakunya harus
dibui, tergantung nanti di pembuktiannya. Cuma, mencari bukti juga yang
benar-benar, dong. Apalagi dalam perkara korupsi, mencari bukti itu kan sulitnya
bukan main. Sebab, enggak mungkin korupsi pakai tanda tangan kwitansi. Itu bodoh
bener koruptornya. Justru itu, karena enggak ada kwitansi itu, harus dibuktikan.
Kalau sudah ada kwitansi, ada transfer bank, wah, kenapa harus ragu-ragu? Itu,
sih, perkara mudah dan sederhana.
Hanya, misalnya dalam kasus Bulog ini, kan ada beberapa bukti yang ditolak
jaksa karena wujudnya fotokopian. Padahal, sebagai bukti awal, harusnya bisa
ditelusuri lebih lanjut, kan?
Nah, itulah. Harus responsif, dong. Apalagi
perkara korupsi itu selalu saja melibatkan orang banyak. Dalam perkara Bulog ini
kan terkait juga pembagian uang itu ke parpol. Menurut UU No. 2/1999 tentang
Partai Politik, di Pasal 15, setiap tahun, 15 hari sebelum pemilu dan 30 hari
setelah pemilu, semua parpol wajib melaporkan keuangannya atau sumbernya.
Berdasarkan laporan itu, MA dapat meminta laporan itu diaudit. Kalau laporannya
saja tidak diterima, dari mana bisa dilakukan audit?
Kita lihat beberapa kasus sangat cepat diajukan ke pengadilan. Ini kan
menimbulkan dugaan adanya unsur politis atau setidaknya ada prioritas?
Dalam
UU, istilahnya bukan prioritas. Menurut UU No. 31, perkara korupsi harus
didahulukan. Dalam bahasa teknis kita, itu diartikan sebagai prioritas.
Misalnya, kami tidak melihat kasus Ginandjar sebagai yang harus
dilebih-lebihkan. Itu karena orangnya. Dia sama saja kedudukannya. Hanya,
perkaranya kan ada dugaan korupsi. Karena UU mengatakan bahwa mengenai korupsi
harus didahulukan, ya secara teknis harus diprioritaskan. Tapi, dalam peradilan,
kedudukannya sama saja.
Nah, sekarang ini juga lagi hangat dipersoalkan mengenai putusan kasasi untuk
praperadilan perkara Ginandjar. Putusan ini dianggap kontroversial dan menambah
ruwetnya sistem hukum kita?
Mari kita baca KUHAP. Lihat di Pasal 77, 78, 79,
80, dan 81. Terhadap putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Jadi,
tidak ada dalam KUHAP yang menyatakan tidak boleh kasasi. Tidak ada satu pun
kata soal kasasi. Yang ada hanya soal boleh dan tidak boleh banding.
Ya,
memang ini tafsir dan menimbulkan debat. Tafsir pertama, karena tidak boleh
banding apalagi kasasi. Tapi, ada yang mengatakan, kalau yang dinyatakan boleh
dan tidak boleh itu bandingnya saja, kasasi tidak disebut, berarti dibolehkan.
Ini disebutkan dalam hukum acara. Padahal, hukum acara harus diikuti betul
sesuai dengan bunyinya, tidak bisa ditafsir-tafsirkan begitu saja. Karena tidak
dinyatakan kasasi dilarang, berarti kasasi boleh. Itu kesimpulan kita.
Jadi,
tidak benar kalau orang mengatakan ini kekacauan. Sebab, ketentuannya sendiri
yang menimbulkan beda pendapat. Pendapat mana pun boleh selama tidak keluar dari
substansi KUHAP. Selain itu, kasasi untuk praperadilan bukan hanya terjadi pada
Ginandjar. Sudah banyak sebelumnya. Kenapa kok Ginandjar yang diributkan dan
diomongkan?
Proses untuk praperadilan ini saja kan sudah menyita banyak waktu. Bagaimana
pendapat Anda?
Justru saya katakan, seperti kasusnya Ginandjar, kalau kita
bisa segera masuk ke dalam pokok perkara, itu tidak hanya menguntungkan negara
sebagai penuntut. Itu juga menguntungkan si terdakwa. Saya bukannya membantu
terdakwa-terdakwa itu lolos, ya. Bukan. Kalau tidak masuk proses hukum, pendapat
umumlah yang akan mengadili dia sebagai orang yang korup tapi tidak diadili.
Tapi, kalau masuk ke pengadilan, dan dapat membuktikan dia tidak bersalah,
artinya putusan pengadilanlah yang menyatakan tidak bersalah.
Jadi, saya
berpikir, mengapa orang-orang ini takut sekali masuk ke pokok perkara? Kalau
tidak bersalah, ya jangan takut masuk ke pokok perkara.
Selama ini yang diributkan soal pengadilannya, apakah peradilan biasa atau
peradilan militer, karena Ginandjar itu latar belakangnya militer, sekarang
sudah jelas?
ni cukup peradilan biasa. Sebab, sekarang ini
ketentuan-ketentuan UU Korupsi dan ketentuan-ketentuan dalam perubahan UUD
menyebutkan kalau militer melakukan tindak pidana umum atau korupsi, ya diadili
di peradilan umum dan bukan peradilan militer.
Risiko Memimpin Orang Tua
Penumpukan perkara di Mahkamah Agung menjadi masalah klasik yang tidak
terselesaikan hingga kini. Pertengahan tahun lalu ada 11.000 perkara kasasi dan
peninjauan kembali yang menumpuk. Setengah tahun kemudian jumlahnya malah
melesat menjadi 16.000 berkas. Hakim agung malas-malas? Ternyata, banyak hakim
agung yang mulai pensiun, sementara DPR tak juga menentukan nama-nama calon
pengganti mereka. ”Hari ini saya baru saja meneken 12 surat pensiun hakim
agung,” kata Bagir, kelu.
Hingga akhir 2002, menurut Bagir, jumlah hakim agung tinggal 31 orang.
Padahal, idealnya harus ada 52 hakim agung di MA. Akibatnya, beban kerja menjadi
makin berat. Bila wajarnya seorang hakim agung memeriksa 50 perkara per bulan,
sekarang menjadi 70-80 perkara per bulan. Ujung-ujungnya, Bagir pun kena semprot
koleganya. ”Inilah risiko memimpin orang-orang tua. Tenaganya sudah melemah,”
seloroh ayah tiga anak yang kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941. Makanya ia
mengusulkan agar persyaratan calon hakim agung itu diubah, sehingga ketika
seorang hakim masuk ke MA tidak dekat dengan masa pensiunnya.
Nama:
Prof Dr Bagir Manan SH MCL
Lahir:
Lampung, 6 Oktober
1941
Agama:
Islam
Jabatan:
Ketua Mahkamah Agung RI
Isteri:
Dra
Hj Komariah
Anak:
Tiga orang
Pendidikan:
- 1967, Sarjana Hukum
Universitas Padjadjaran
- 1981, Master of Comparative Law, Southern
Methodist University Law School Dallas, Texas, AS
- 1990, Doktor Hukum Tata
Negara, Unpad, Bandung
- 1993, Program Belajar tentang Sistem Pemerintahan,
The Academy for Educational Development, Washington, AS
- 1997-1998, Program
Belajar Hukum Indonesia, Universitas Leiden, Belanda
Pekerjaan:
-
1968-1971, Anggota DPRD Kodya Bandung
- 1974-1976, Staf Ahli Menteri
Kehakiman
- 1990-1995, Direktur Perundang-undangan Departemen Kehakiman
- 1995-1998, Dirjen Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman
-
2000-kini, Rektor Unisba, Bandung
- 2001-kini, Ketua MA