Tidak ada satu pun orangtua yang ingin anaknya miskin. Semua ingin
anaknya jadi orang kaya, tujuh turunan kalau bisa. Kaya raya, banyak uang,
sukses secara finansial. Anehnya, tidak banyak orangtua yang secara
terang-terangan mendidik dan mengarahkan anaknya untuk menjadi orang
kaya.
Kebanyakan orangtua lebih mengarahkan dan mendidik anaknya untuk jadi
orang pandai. Pintar dalam pendidikan skolastik (membaca, menulis, berhitung)
dan pintar dalam pendidikan profesional (kedokteran, insinyur, kepengacaraan,
kemiliteran, dsb). Dan untuk itu, mereka mewajibkan anak-anaknya bersekolah,
kalau perlu sampai ke negeri seberang.
Ada kelompok masyarakat tertentu yang
memandang bekerja mencari keuntungan finansial (berdagang, berusaha) tidak
semulia bekerja mencari ilmu, membela negara, atau mengabdi sesama. Ada juga
faktor prejudice. Sebagian orang berprasangka, orang kaya identik dengan sifat
sombong, kikir dan eksklusif. Lalu ada lagi faktor pertimbangan praktis. Menjadi
orang kaya itu, menurut sebagian orang, repot. Padahal di sisi lain, menjadi
kaya – selain merupakan hak asasi sepanjang caranya tidak merugikan orang lain -
sebenarnya membawa banyak manfaat pula. Bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri
dengan lebih layak tanpa harus tergantung pemberian orang juga bisa memberi
nafkah dan mata pencaharian bagi orang lain. Selain tentunya bisa menyantuni
kerabat serta menyumbang orang maupun badan sosial lebih banyak. Bahkan bisa
menjamin kesejahteraan diri sampai masa tua kelak.
Terlepas dari itu semua,
di masa sekarang – apalagi di masa depan – kita tampaknya memang tidak bisa lagi
mengharapkan kemakmuran dan keterjaminan finansial seumur hidup dari siapa pun.
Tanda-tandanya cukup banyak. Misalnya, tidak banyak lagi perusahaan atau majikan
yang menyediakan tunjangan pensiun. Tanda lainnya? Semakin banyak penerima
pensiun yang hidup susah karena uang pensiunnya begitu kecil. Dan semakin banyak
sarjana menganggur atau tidak digaji layak.
Melihat gelagat semacam ini, tak
ada jalan lain, orangtua perlu lebih memastikan anaknya akan mampu menjadi orang
kaya atau setidaknya mampu menghasilkan dan mengelola uang untuk menjamin
kebutuhan finansialnya sepanjang hidup.
Pemahaman terhadap konsep uang-lah
yang mempengaruhi sikap anak terhadap uang. Dan sikap terhadap uang mencakup
banyak aspek: penghargaan terhadap nilai nominal uang (arti lima ribu rupiah
untuk anak yang berbeda konsep uangnya, tak akan sama); sikap terhadap keabsahan
asal-usul uang (didapat secara legal atau ilegal?); sikap terhadap cara
memperoleh uang (dengan bekerja dan berusaha sendiri atau sekadar meminta?),
hingga cara menggunakan uang (memboroskan atau mengeluarkan secara cerdas dan
cermat).
Bekerja meneteskan keringat, misalnya, adalah cara paling tua untuk
memperoleh bayaran (upah/gaji). Bahkan istilah gaji atau salary (berasal dari
bahasa Romawi, salarium, yang berarti garam) sebenarnya secara tidak langsung
mengabadikan hubungan antara bekerja dan bayaran (tentara Romawi kala itu
dibayar dengan bungkahan garam).
Belakangan, muncul konsep – sebut saja
‘kontemporer’. Robert T. Kiyosaki bisa dibilang orang pertama yang menepis
konsep klasik ‘bekerjalah untuk mendapat uang’, dengan menawarkan konsep
‘uanglah yang harus bekerja untuk kita’. Pengertian ‘uang bekerja untuk kita’
kurang lebih adalah menginvestasikan atau memutar sejumlah uang dalam bidang apa
saja, sehingga bisa mengalirkan uang ke saku kita tanpa perlu kehadiran kita 7-8
jam sehari atau 40 jam seminggu. Sederhananya, dalam soal uang, Kiyosaki
menganjurkan orang untuk memiliki menjadi – paling tidak memiliki mentalitas –
pengusaha atau investor.
Untuk mendidik anak agar mampu menjadi orang kaya
(atau minimal mampu menghasilkan dan mengelola uang), Anda tidak harus memakai
konsep uang Kiyosaki atau siapa pun. Yang penting, konsep itu bisa membantu
mengembangkan ketrampilan finansial anak. Apakah ketrampilan finansial itu?
Menurut Safir Senduk, konsultan perencanaan keuangan, keterampilan finansial
setidaknya ada lima: (1) mampu berbelanja secara bijak (2) mampu menyimpan dan
mengembangbiakkan uang yang dimiliki (3) mandiri (4) berani mengambil risiko,
dan (5) bisa menjual diri. Maka uang pun bikin orang serakah. Keadaan itu
melukiskan keadaan yang tidak wajar. Namun apapun yang dilakukan, bila
berlebihan, dan menimbulkan ketidakwajaran, kita beri nama khusus, antara lain
nama-nama di atas tadi.
Ada kecenderungan manusia menyediakan waktu dan
tempat yang utama bagi hal-hal yang berkaitan tugasnya. Hal ini terlihat jelas
dalam hidup sehari-hari. Waktu dan pikiran seorang pendidik lebih dipenuhi hal
yang berkaitan dengan dunia pendidikan begitu juga pemilik bengkel motor,
pikirannya dipenuhi hal yang berkaitan dengan reparasi motor. Kuasa yang kita
beri pengutamaan akan memberi warna tabiat kita.
Kedua kuasa itu hadir
sebagai perwujudan dari pemenuhan bahan dasar penciptaan manusia, bahan fana
dari bumi dan nafas kehidupan (berasal dari Allah). Peringatan dalam ayat acuan
di atas, agama maksudkan supaya kita tidak mengutamakan tuntutan pemenuhan
keinginan bahan fana karena bukan itu yang utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar