Konflik Aceh dan Pengadaan Helikopter MI-2
yang paling menentukan untuk penyelesaian konflik Acah boleh jadi adalah Abdullah Puteh. Selaku Gubernur Nangroe Aceh Darussalam, ia adalah orang yang paling berkuasa di daerah itu. Termasuk dalam sosialisasi sembilan pasal kesepakatan penghentian permusuhan (The Cessation of Hostilities Agreement), pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah didatangani 9 Desember 2002.
Kekerasan dan pembunuhan masih berkecamuk di Aceh. Tidak hanya anggota TNI dan GAM yang sering kali menjadi koban, melainkan juga penduduk sipil. Rasa takut masih saja menyelimuti masyarakat di daerah itu. Kketakutan itu bukannya tanpa alasan. Jangankan rumah penduduk dan gedung sekolah yang dibakar, beberapa waktu lalu, rumah dinas Abdullah Puteh pun pernah dilempari bahan peledak oleh orang tidak dikenal. Praktis, ledakan di pintu pagar rumah itu membuat panik orang-orang.
Kini berkembang wacana, untuk dapat segera mengakhiri konflik di daerah itu, sudah saatnya diberlakukan darurat militer. Namun banyak kalangan yang tidak sependapat dengan pemberlakuan darurat militer tersebut. Namun apapu yang diperbincangkan orang, yang paling menentukan dalam hal ini adalah Abdullah Puteh selaku penguasa di daerah itu. Ia kini ditantang untuk mencari solusi yang paling baik dalam menyelesaikan konflik di daerah kelahirannya itu.
Lahir di Meunasah Arun, Idi, Aceh Timur, 4 Juli 1948, Abdullah menghabiskan masa kecil di Idi. Di sana pula ia menamatkan sekolah rakyat dan sekolah menengah pertamanya. Sementara masa remajanya dilalui di Langsa, Aceh Timur, sambil menamatkan sekolah menengah atas. Walau dimanja, bungsu dari lima bersaudara ini sejak kecil belajar hidup prihatin. Untuk menambah biaya sekolah, ia berjualan telur di pasar atau menjajakan nasi bungkus di stasiun kereta api. Di rumah indekos, ''Saya rajin membantu induk semang,'' katanya. Sehingga ia tidak dikutip bayaran.
Insinyur Teknik Planologi Kota ini adalah putra Tengku Haji Imam Puteh (almarhum), seorang petani yang merangkap menjadi guru agama. Ketika di SMA Langsa, ia aktif dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI). Sempat pula ia bercita-cita masuk Akabri, sebelum akhirnya memutuskan mencoba mendaftar di ITB. Berbekal beasiswa dari Gubernur Aceh waktu itu, ia berangkat ke Bandung. Sayang, ketika itu ia gagal masuk ke perguruan tinggi yang, menurut Puteh, banyak melahirkan tokoh pergerakan itu. Akhirnya, ia memilih kuliah di Akademi Teknik Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (ATPUT).
Setelah menjadi sarjana muda, ia kembali ke Aceh dan diangkat menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum Aceh Timur. Di kabupaten itu, ia sempat menjadi Ketua KNPI. Pada 1979, ia berangkat ke Senayan menjadi anggota DPR Pergantian Antar Waktu. Begitu tinggal di Jakarta, peluangnya untuk melanjutkan ke ITB kembali terbuka lebar. Dan ia tidak mensia-siakan kesempatan tersebut. Tak peduli ia mesti bolak-balik Bandung-Jakarta. Karena, sebagai mahasiwa ITB, ia mesti kuliah di Bandung. Sementara sebagai wakil rakyat, ia mesti berkantor di Senayan. Itu, selain aktivitasnya sebagai pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang berkantor pusat di Jakarta.
Dan hal itu tidak sia-sia. Pada Oktober 1984, ia meraih gelar sarjana teknik. Sebulan kemudian, ia terpilih sebagai Ketua Umum DPP KNPI. ''Semua itu merupakan rahmat Allah,'' katanya mensyukuri. Di samping itu, karirnya sebagai anggota Dewan juga berlanjut. Setelah periode pergantian antar waktu dilalui, suami Linda Purnomo -- mantan penyiar TVRI -- ini terpilih kembali sampai dua periode berikutnya, dan sempat menjadi Wakil Ketua Komisi V dan Wakil Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan.
Setelah tidak lagi berkantor di Senayan, ia mencurahkan waktunya sebagai pengusaha. Ia juga tercatat sebagai Ketua Umum Apjati (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Selain itu, ia masih aktif sebagai Wakil Sekjen DPP Partai Golkar. Terakhir, pada 4 November lalu, ia terpilih sebagai Gubernur Aceh dengan mengantongi 33 suara dari 54 anggota DPRD Aceh. Ini adalah "perjuangannya" yang kedua kali untuk mencapai tampuk pimpinan di daerah itu. Pada suksesi Gubernur Aceh sebelumnya, ayah dua anak ini sempat dikalahkan oleh kandidat lain, Syamsuddin Mahmud.
Periode kepemimpinannya ini tentu sangat sulit, mengingat suhu konflik di tanah rencong itu makin meninggi. Puteh sendiri mengaku akan berupaya menyelesaikan konflik Aceh secara damai, adil dan bermartabat. Dan penyelesaian konflik itu, menurut pengagum Jenderal Sudirman dan John F. Kennedy ini, harus didahului dengan penyejukan. "Kalau tegang seperti sekarang, semua orang pada mengkristal ke kekerasan. Orang tidak mungkin melakukan perundingan," katanya dalam sebuah wawancara dengan Suara Karya.
"Saya meminta dukungan semua lapisan masyarakat agar berupaya menuju Aceh baru yang lebih sejahtera," harapnya di lain kesempatan. Akankah niat luhur Abdullah itu berhasil? Yang jelas, tantangan makin hebat
Namun perjalanan karier Abdullah Puteh tak semulus yang diperkirakan. Ia tersandung masalah pengadaan helicopter MI-2. Bulan April 2005, majelis hakim Pengadilan ad hoc Korupsi memvonis 10 tahun penjara bagi Puteh dalam perkara korupsi pengadaan helikopter MI-2 untuk Pemerintah Provinsi Aceh. Ketika vonis dibacakan, Puteh tidak hadir ke ruang sidang dengan alasan sakit. Ia disebutkan dirawat di Rumah Sakit Thamrin, Jakarta. Para pengacara Puteh pun meninggalkan ruang sidang ketika majelis hakim memutuskan hal itu.
Juan Felix Tampubolon, pengacara Abdullah Puteh, menyatakan protes atas vonis untuk kliennya. Menurut dia, majelis hakim Pengadilan ad hoc Korupsi dan jaksa penuntut umum tidak bisa membedakan ruang lingkup administrasi negara dan pidana. "Jadi, majelis hakim telah keliru menerapkan hukum," kata Felix Tampubolon.
Menurut Felix, pembelian helikopter dilakukan Puteh untuk menjalankan kebijakan pemerintah. Keputusan itu, kata dia, telah dipertanggungjawabkan kepada DPRD sebagai "atasan". Para bupati yang "menyumbangkan" sejumlah anggaran pun sudah mempertanggungjawabkannya ke parlemen daerah masing-masing. "Semua itu diterima, jadi sebenarnya tidak ada masalah pidana," tuturnya.
Ia pun mempersoalkan pembacaan vonis tanpa kehadiran Puteh. Padahal, menurut dia, baik Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa kehadiran terdakwa adalah mutlak. Kecuali, ia menambahkan, terdakwa tidak hadir dengan sengaja atau melarikan diri.
Ketika ditanyakan bahwa pembacaan vonis untuk Hutomo Mandala Putra, terpidana pembunuhan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita, pun tidak dihadiri oleh putra mantan Presiden Soeharto itu, Felix menjawab, "Itu juga sedang kami persoalkan di Mahkamah Agung."
Tentang kondisi Puteh, Felix mengungkapkan, bahwa mantan Ketua Umum KNPI itu menderita darah rendah. Puteh, ia menambahkan, juga mengalami demam. "Jangankan datang," kata dia, "untuk berkomunikasi dengan kami, pengacara, pun susah." Menurut Felix, Puteh ditemani istri dan anaknya di rumah sakit.
Nama:
Abdullah Puteh
Lahir:
Meunasah Arun, Aceh Timur, 4 Juli 1948
Pendidikan:
• Sekolah Rakyat, Idi, Aceh
• SMP, Idi, Aceh
• SMA, Langsa, Aceh, (1967)
• Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPUT), Bandung (1974)
• Fakultas Teknik Planologi ITB, Bandung (1984)
Karir:
• Komandan Resimen Mahawarman Batalyon VI Detasemen ATPUT Bandung (1969-1971)
• Ketua Umum HMI Cabang Bandung (1970-1971)
• Ketua Biro Kaderisasi PB HMI (1971-1973)
• Anggota Majelis Pekerja Kongres PB HMI (1973-1975)
• Kepala Dinas PU Aceh Timur (1974-1979)
• Ketua KNPI Aceh Timur (1974-1978)
• Ketua Departemen Wisata Pemuda DPP KAPPI
• Ketua Departemen Koperasi dan Wiraswasta DPP AMPI (1979)
• Ketua Gema MKGR DKI Jaya (1979)
• Anggota MPR/DPR RI (1979 --.. ) Ketua Umum DPP KNPI (1984-1987)
• Ketua Umum Apjati (Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) - 1996-1999
• Wakil Sekjen Golkar
- Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam 2000-2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar