Politisi ‘Penurut’ yang Teguh Prinsip
politisi yang ‘penurut’ tapi teguh dalam prinsip. Dia tergolong politisi
yang licin, akomodatif dan tenang tapi kadang-kala meledak. Jiwa kebangsaannya
telah terpatri sejak masa belia. Keteguhan prinsip dan jiwa kebangsaan telah
mengantarkannya ke jenjang karir politik sebagai Menteri Pertahanan.
Pada saat tertentu, dia terkesan sangat penurut kepada ‘Sang Guru’ yang
disimbolkan sujud dan cium tangan setiap kali ketemu. Tapi dalam hal yang
dianggapnya sangat prinsipil dan konstitusional dia pun mampu melepaskan diri
dari bayang-bayang ‘Sang Guru”.
Itulah yang dilakoni dalam perjalanan hidup dari sejak masa mudanya. Ia
seorang politisi yang menapaki karir plotik dari bawah, dari anggota DPRD
Tingkat II, DPRD Tingkat I, DPR dan Wakil Ketua MPR sampai menjadi Menteri
Pertahanan. Pria yang lahir di sebuah desa di luar kota Salatiga, Jawa Tengah 11
Juli 1942, ini sejak kecil sudah suka terlibat dalam organisasi dan mempunyai
kepedulian kepada kepentingan masyarakat. Mungkin sudah bawaan dari garis
keturunan. Kakek dan kakek buyutnya adalah kepala desa yang dikenal sebagai
orang yang senantiasa punya kepedulian terhadap rakyat dan kepentingan umum.
Semasa anak-anak bersama teman-temannya, Matori sudah belajar berorganisasi
dalam bentuk mendasar. Seperti, mengatur pelaksaan pertandingan sepak bola.
Mulai dari mempersiapkan peralatan, pendanaan dengan iuran bersama, pembuatan
kostum sederhana dengan kaos oblong yang kemudian diwarnai. Ini tertutama ketika
musim-musim hari kemerdekaan 17 Agustus. Kegemaran berkumpul dan berorganisasi
itu terus belanjut dari sejak SD hingga di bangku kuliah.
Pada usia belia, ia juga sudah memperhatikan semangat para pemuda bangsa yang
dalam pengabdian mempertaruhkan nyawa demi kepentingan kemerdekaan bangsa. Saat
itu bangsa kita dalam kondisi puncak perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Hal ini memberikan rangsangan dan inspirasi baginya untuk cinta tanah air dan
memiliki sikap patriotik.
Maka awalnya ia bercita-cita menjadi tentara. Tetapi karena ia buta warna, ia
tidak berani mendaftar jadi tentara. Akhirnya ia memilih terlibat dalam lembaga
kemasiswaaan hingga partai politik, sebagai tempat pengabdian. Selain belajar
dalam jenjang pendidikan formal, ia juga banyak belajar dan bertanya kepada
orang yang lebih tua, terutama kepada eks tentara pelajar. Dari mereka Matori
banyak belajar tentang bagaimana sebaiknya bangsa ini. Sehingga sejak remaja ia
sudah memahami kemajemukan bangsanya, baik agama, suku, etnis dan golongan.
Ia menjadi paham mengapa pendiri bangsa ini memilih Pancasila sebagai dasar
negara, bukan agama atau ideologi yang lain. Itu semata-mata karena sebuah
kesadaran yang kuat betapa beragamnya bangsa ini. “Sebab kalau kita menganggap
bangsa ini dalam ukuran suatu etnis, saya pikir kita tidak mungkin bersama
dengan saudara-saudara kita dari Irian Jaya, yang memiliki perbedaan, warna
kulit dan budaya,” kata Matori dalam percakapan dengan Tokoh Indonesia di Kantor
Menhan, Jalan Merdeka Barat, Jakarta.
Juga kalau kita melihat bangsa ini dari ukuran sebuah agama, tidak mungkin
misalnya masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu dapat bersatu dengan
orang-orang yang ada di pulau Jawa. Terlebih jika dilihat satu pulau, contohnya
di pulau Jawa, betapa beragamnya dari segi etnik dan agama. Kenyataan ini
semakin meyakinkannya bahwa jikalau bangsa ini ingin eksis, harus melihat bentuk
Negara Kesatuan berdasarkan Pancasila, sebagai bentuk dan dasar negara yang
sudah final.
Tujuan bangsa ini yaitu ingin sederajat dengan bangsa lain dan mencerdaskan
bangsa menuju cita-cita ke arah sebuah masyarakat yang “toto tentrem” dan “kerto
raharjo” yaitu dengan cara setiap orang harus bersikap sebagai pejuang dalam
bidangnya. Apakah ia di partai, pers, pegawai negeri, aktivis sosial. Hal-hal
inilah yang senantiasa menjadi pemikirannya, ketika ia masuk berpolitik dari
bawah hingga sekarang.
Dalam memandang bangsa ini dari sisi pertahanan dan keamanan, terlebih ia
melihat dari kaca mata sebagai orang Jawa. Bukan menjadi primodial. Namun karena
ia dibesarkan di Jawa, sehingga berbagai pengetahuan yang ia peroleh dari
masyarakat adalah menjadi acuan pola berpikirnya, sebagai umumnya manusia.
Ia menganalogikannya dengan pergelaran wayang kulit. Pertama kali Ki Dalang
menyanjung sebuah negara dengan istilah panjang, punjung, pasir, wukir gemah
ripah loh jinawi. Ia melihat bangsa Indonesia seperti itu. Panjang dan punjung
itu artinya panjang, luas lebar. Pasir itu berarti pantai, ini menunjuk kepada
pantai sebagai tempat perdagangan. Kemudian perbukitan berarti pertanian, lalu
gemah ripah loh jinawi berarti kaya sumber daya alam dan subur. Sumber alam kita
begitu kaya dan subur sekali. Ini adalah sebuah fakta dan ini adalah anugerah
bagi bangsa ini. Namun sesugguhnya ada dua hal yang menjadi tugas besar bangsa
ini yaitu terciptanya “toto tentrem” dan “kerto raharjo”.
Toto tentrem itu adalah yang berhubungan dengan keamanan (security).
Sedangkan kerto raharjo itu adalah kesejahteraan (prosperity). Sehingga kuncinya
adalah bagimana kita menjadikan kondisi keamanan yang bagus, sehingga akhirnya
kesejahteraan tercapai. Tidak pernah dikatakan kerto raharjo dan toto tentrem.
Tapi toto tentrem terlebih dahulu, kemudian kerto raharjo. Seperti, sandang
pangan bukan pangan sandang. Ini berarti bahwa yang pertama adalah yang utama
bagi kita sebagai manusia berbudaya.
Contohnya, bayi saat dilahirkan. Pertama kali diselimuti dengan kain baru
kemudian diberi ASI. Ini tanda manusia itu beradab dan berbudaya. Lebih baik
kita tidak makan dulu daripada tampil telanjang. Karena jika kita tidak
telanjang, kita dapat mencari makan. Demikian juga kalau kita bicara di dalam
dunia ekonomi, bahwa antara stabilitas dengan pertumbuhan ekonomi memiliki
hubungan yang bersifat absolut. Tidak mungkin ada investor jika tidak ada
keamanan yang pasti. Setidaknya itulah yang menguat dalam benaknya, ketika
dipercayakan memimpin Departemen Pertahanan. “Bagi saya ketika ditempatkan di
dalam departemen ini merupakan sebuah amanah yang tidak ringan, bagaimana
terciptanya keamanan yang bagus yang berlanjut dengan tumbuhnya kesejahteraan
yang diharapkan,” ungkapnya.
Reformasi adalah tugas besar bagi bangsa Indonesia yaitu satu proses yang
disengaja demi terciptanya suatu sistem nasional yang demokratik, sebagaimana
yang diharapkan oleh pendiri republik ini. Namun, menurut Matori, kita perlu
menyadari bahwa kematangan berdemokrasi Bangsa Indonesia itu belum cukup.
Padahal jika ingin membangun suatu sistem bukan hanya sturkturnya saja yang
dibangun, Tapi juga kulturnya harus dibangun. Lalu apakah sebenarnya demokrasi
hanya merupakan kebebasan saja? Sejarah dalam Revolusi Prancis mencatat bahwa
domokrasi mencakup tiga hal: kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Sehingga jika ingin membangun kultur demokrasi, tiga nilai tersebut harus
dibangun secara bersama. Tiga nilai itu memiliki pengertian: ketika saya merasa
bebas, pada saat itu juga saya harus begitu yakin kalau orang-orang di sekitar
saya juga merasakan hal yang sama. Namun jika yang bebas hanya saya, itu bukan
demokrasi namanya. Ketika kebebasan dirasakan bersama, maka yang muncul adalah
kompetisi. Kompetisi yang sehat harus memiliki “rule of the game”.
Contohnya, dalam pertandingan sepak bola, kedua tim diberikan kebebasan untuk
menggolkan bola sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam aturan permainan. Nah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara itu disebut sebagai “rule of law”. Sehingga
persaingan atau kompetisi itu didasari oleh hukum. Jika hukum sudah ada maka
harus ada law inforcement (penegakan hukum). Ketika ada yang patut terkena
“kartu kuning” diberikan “kartu kuning” dan jika patut terkena “kartu merah”
harus diberi “kartu merah” juga.
Jadi siapa pemenangnya, setiap pihak menjadi puas. Seperti di saat akhir
pertandingan sepak bola, mereka saling tukar-menukar kostum, bersalaman dan
berpelukan. Muncul persaudaraan. Persaudaraan itu ada karena adanya fairplay.
Sehingga jika kita berdemokrtasi itu adalah untuk bersatu.
Matori menuturkan kata-kata itu dalam penghayatan yang tulus. Sejak muda ia
memang sudah aktif dalam kegiatan dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah
organisasi Islam terbesar dan moderat (kebangsaan). Keluarganya memang datang
dari kalangan NU. Boleh disebut, karier politiknya dibangun dari organisasi
massa Islam tradisonal tersebut, sejak ia mulai menjadi anggota Pandu Anshor
pada tahun 1955-1957. Ketika di SMA ia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nadhlatul
Ulama (IPNU) Cabang Salatiga. Waktu kuliah, Matori menjadi Ketua Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga, 1964-1968. Juga menjabat Ketua
Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga,
1966-1968. Tahun 1966-1973, menjadi Wakil Ketua DPC Partai NU Kabupaten
Semarang/Kotamadya Salatiga.
Suami dari Ny Sri Indarini ini, pada tahun 1976-1981 menjabat Ketua II Anshor
Wilayah Jawa Tengah tahun 1976-1981. Di saat yang hampir bersamaan, ia juga
menjadi Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah dan kemudian naik menjadi Sekretaris
PWNU Jawa Tengah, 1979-1982. Tahun 1973 sampai 1981 ia menjabat Ketua DPC Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Semarang. Lalu, 1982-1987, menjadi Wakil
Ketua DPW PPP Jawa Tengah.
Di jalur legislatif, Matori benar-benar memulai karirnya dari bawah. Wakil
Ketua DPRD II Salatiga, 1968-1971. Kemudian sebagai Wakil Ketua DPRD Semarang,
1971-1977. Lalu naik menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah, 1977-1987. Dan menembus
Senayan sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi PPP, 1987-1992 dan 1992-1997. Serta
menjadi anggota DPR dan Wakil Ketua MPR (1999-2001).
Namanya sebagai politikus nasional mencuat ketika ayah delapan anak itu
menjadi Sekjen DPP PPP, pada 1989-1994. Dia melakoninya sebagai Sekjen yang
‘patuh’ kepada Ketua Umumnya. Namun setelah periode itu selesai, ia pun
bertarung dengan Ketua Umumnya sendiri, Ismail Hasan Metareum, untuk
memperebutkan Ketua Umum DPP PPP periode berikutnya. Dia kalah. Buya Metareum
terpilih kembali melanjutkan kepemimpinan PPP periode 1994-1997. Matori lalu
terdepak.
Namanya sempat bagai menghilang dari percaturan politik. Baru terdengar lagi
ketika aktif menjadi Sekretaris Umum Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan
(YKPK), mendampingi mantan KSAD, Bambang Triantoro, yang tampil sebagai
ketuanya. Lalu reformasi bergulir, orang pun dengan mudah mendirikan partai. NU,
sebagai organisasi massa terbesar di Indonesia pun tak ketinggalan, mendirikan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di bawah prakarsa Abdurrahman Wahid. Matori pun
ditunjuk untuk memimpin partai yang konon mewadahi aspirasi politik kaum
Nadhliyin itu.
Setelah Pemilu 1999 usai, Matori menjagokan Megawati Sukarnoputri, selaku
Ketua Umum PDIP pemenang Pemilu, sepantasnya jadi Presiden menggantikan BJ
Habibie. Pendapatnya masih sejalan dengan Gus Dur – yang dianggapnya sebagai
‘Sang Guru’ – yang sebelum Pemilu sering mengemukakan dukungan pribadinya kepada
“saudarinya’ Megawati.
Tapi ketika, Poros Tengah yang merupakan Poros Islam yang dimotori Amie Rais
Cs mengumpan Gus Dur paling pantas jadi presiden, Gus Dur dengan cekatan
manangkap peluang itu. Tapi Matori masih saja terlihat tetap pada pendirian
menjagokan Megawati.
Hingga tiba saatnya pada Sidang Umum MPR Oktober 1999, Matori berada di
antara dua pilihan sulit. Tetap mendukung Megawati sebagai calon presiden atau
berbalik memihak mendukung Gus Dur, sang pelindungnya di PKB dan NU. Ia mencoba
tetap bertahan dengan sikapnya yang menjagokan Megawati.
Dua minggu sebelum SU MPR itu, Matori yang saat kampanye Pemilu muncul
sebagai bintang iklan bagi PKB ini masih menegaskan, PKB tetap mendukung
Megawati. "Sekecil apa pun bagi Megawati akan saya upayakan untuk menjadi
besar," imbuhnya. Lebih jauh, Matori menganggap kalau Megawati kalah, berarti
pertarungan dimenangkan oleh status quo. Sebaliknya ia justru mencurigai upaya
Poros Tengah itu. "Saya melihat, itu lebih sebagai upaya Amien Rais untuk
mendapatkan posisi yang dia harapkan bagi dirinya sendiri. Jadi bukan untuk Gus
Dur," kata Matori sebagaimana dikutip sebuah majalah. Ia juga sempat mempunyai
penilaian bahwa Poros Tengah itu bukanlah sebuah kekuatan yang solid.
Tetapi sekalipun kekuatan Poros Tengah (yang semula diperkirakan hanya
memperalat Gus Dur) tidak solid, terbukti menjadi kekuatan sangat dahsyat dalam
Sidang Umum MPR 1999 oleh kepiawian politik Gus Dur memanfaatkan peluang yang
dilempar Poros Tengah. Gus Dur dari partai pemenang keempat, berhasil merebut
tampuk pemerintahan di Indonesia, menjadi Presiden.
Matori sendiri, yang sebelumnya berhasrat dan dijagokan PDIP dan PKB untuk
menjadi Ketua MPR, dikalahkan pula oleh kekuatan yang dibangun Poros Tengah.
Pasalnya, Gus Dur tidak mendukung Matori tapi mendukung Amien Rais. Amien Rais
pun naik menjadi Ketua MPR, unggul dengan selisih 26 suara dari Matori .
Sementara Matori sendiri, harus puas menjadi Wakil Ketua MPR.
Pembangkangan Matori kepada Gus Dur, sempat diperkirakan akan menimbulkan
keretakan hubungannya dengan Sang Guru. Namun, dengan cekatan Matori melakukan
suatu tindakan politik yang brilian. PKB yang dipimpinnya mencalonkan Megawati
untuk jabatan Wakil Presiden. Gus Dur dan Matori akhirnya muncul sebagai
pemenang sesungguhnya pada di akhir Sidang Umum MPR 1999 itu. Poros Tengah yang
menjagokan Hamzah Haz kalah telak. Akhirnya, bagi Matori, yang datang dari
keluarga NU ini, pemilihan presiden yang tadinya seperti buah simalakama berubah
menjadi berkah.
Berkat kepiawian Matori itu, tak heran bila pada Muktamar PKB yang
berlangsung beberapa bulan kemudian, Gus Dur bersikukuh mempertahankan Matori
memimpin kembali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tidak banyak perdebatan,
apalagi saling bertegang urat leher. Adalah Abdurrahman Wahid, yang terpilih
sebagai Ketua Dewan Syuro yang 'menunjuk' Matori untuk memimpin kembali PKB.
Sementara Alwi Shihab, yang sebelumnya sempat kepincut untuk duduk di puncak
kepengurusan, harus rela mengubur keinginannya.
Calon lainnya, KH Mustopa Bisri, pagi-pagi sudah menyatakan mundur dari
pencalonan itu. Meskipun, menurut pengakuan Gus Dur, sejumlah kiai di Jawa dan
Luar Jawa menghendaki kiai penyair itu. "Tadinya saya mau mengajak Pak Matori
dalam Dewan Syuro. Tetapi Gus Mus tidak mau (jadi Ketua Umum PKB-red). Ya,
sudah. Kita kembali ke bentuk asal," kata Gus Dur dalam pengantarnya sebagai
Ketua Dewan Syuro di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya (26/7). Terkuburlah
keinginan beberapa ulama dan kader PKB yang sebelumnya menghendaki penggantian
Matori. Dia pun kembali berjalan seiring dengan Sang Guru.
Sampai pada akhirnya, ketika Gus Dur mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan
MPR yang bermuara pada dipercepatnya Sidang Istimewa MPR yang memberhentikan Gus
Dur dari kursi presiden, Matori benar-benar mengambil sikap berlawanan dengan
kehendak Gus Dur. PKB yang sudah menyepakati melarang setiap anggotanya
menghadiri Sidang Istimewa itu, dilanggar oleh Matori. Ia dengan gagah tampil
pada prinsip yang diyakininya. Ia tidak menghiraukan larangan itu. Ia pun
menghadiri Sidang Istimewa itu. Gus Dur pun berang. Dan selaku Ketua Dewan Syuro
PKB, Gus Dur memecat Matori dari jabatan Ketua Umum PKB.
Sekali lagi, Matori mananggapinya dingin. Ia menganggap pemecatan itu tidak
sah. Apalagi, ia sedang berada dalam suasana sukacita ketika Megawati
mempercayainya menjabat Menteri Pertahanan Kabinet Gotong Royong 2001-2004.
Beberapa bulan berikutnya, Matori pun menyelenggarakan Muktamar PKB yang
menetapkannya tetap sebagai Ketua Umum PKB, yang kemudian dikenal sebagai PKB
Batutulis. Sehari berikutnya, kubu Gus Dur menyelenggarakan Muktamar PKB yang
memilih Alwi Sihab sebagai Ketua Umum. PKB pimpinan Alwi Sihab ini kemudian
dikenal sebagai PKB Kuningan. Kedua PKB ini akhirnya harus bertemu di pengadilan
untuk menentukan siapa yang berhak menamakan diri PKB yang sah. Matori, yang
menghabiskan masa kecil dan remajanya serta mengenyam pendidikan dasar hingga
perguruan tingginya di kota kelahirannya, Salatiga, tetap menegakkan kepala
sebagai seorang politisi yang tidak bisa disepelekan.
Ia pun kemudian tetap membina hubungan pribadi dengan Gus Dur, sebagai
seorang sahabat dan guru yang dihormatinya. Ia seorang yang percaya bahwa hidup
dan perjuangan itu tidak dapat dilakukan sendiri. Makin banyak teman makin baik.
Karena itu ia selalu berusaha membangun jaringan dengan siapa pun. Baik dengan
tidak seagama atau satu daerah, namun dengan siapa saja yang memiliki satu
idealisme yang sama, mari bersama-sama! Dengan itu dapat terlihat apakah orang
itu mengabdi kepada idelisme atau kepada kepentingan pribadinya ketika sedang
mengambil keputusan yang menyangkut bangsa.
Ia selalu berharap dalam setiap sikap dan usaha senantiasa Tuhan memberi
kekuatan. Kekuatan itu dimilikinya setiap kali mengambil keputusan sesuai dengan
prinsip dan komitmen yang diyakininya benar. “Jadi ketika prinsip berbeda, kita
memang tidak boleh lagi bersama-sama, meskipun secara pribadi hubungan tidak
putus. Tapi jika dalam satu hal berbeda, apalagi menyangkut bangsa dan negara,
saya selalu berusaha apa yang saya lakukan itu konsisten dengan apa yang saya
katakan atau ucapkan. Ketika memperjuangkan dermokrasi dengan konstitusi, saya
harus turut di dalamnya. Karena di dalam Islam dikatakan bahwa “dosa besar
dihadapan Allah itu adalah orang yang bisa bicara, tetapi tidak bisa
melaksanakan yang diucapkan,” katanya.
Dalam hal ini ia bertekad menjadi
orang yang memiliki rasa malu teradap diri sendiri, manakala tidak konsisten
dengan apa yang ia katakan. Maka seberat apapun dalam mengambil keputusan, ia
percaya kalau dilakukan dengan ihklas, meskipun semua orang memusuhi, Tuhan
pasti menolong. Karena Al-quran mengatakan “kalau memang kamu membela Allah,
membela kebenaran sesuai dengan kehendak-Nya, maka yang akan meneguhkan dirimu
adalah Tuhan sendiri.
Hal inilah yang meneguhkannya menghadiri Sidang Istimewa MPR 2001,
berseberangan dengan Gus Dur. Ia sejak semula mempunyai prinsip menegakan
konstitusi bagaimana pun keadaanya. “Sebab kelemahan saya dalam politik, saya
tidak dapat berkompromi terhadap hal-hal yang prinsipil dan konstitusional,”
ungkap Matori. Lagi pula ia yakin segala sesuatu itu datang dari Tuhan. Jadi ia
tak perlu takut lalu menjual prinsip.
Kesadaran ini mengental terlebih ketika ia hendak dibunuh, ternyata tidak
mati. Dari hal itu ia makin yakin kematian itu bukan manusia yang mengira-ira.
“Boleh saja orang mau membunuh saya, tapi kalau Tuhan tidak menakdirkan saya
mati pada hari itu, ya saya tidak mungkin mati. Bukan karena saya sakti tapi
karena Allah. Saat kita lahir dalam keadaan telanjang, tidak berdaya, tetapi
Tuhan menanamkan kasih kepada kita masing-masing, sehingga ibu kita merawat dan
membesarkan kita. Kasih yang ada dalam ibu ini adalah datang dari Tuhan,” kata
Matori lalu mengungkap sebagian kisah masa kecilnya.
Ketia masih SD, ia harus berjalan jauh untuk sampai ke sekolah melewati
pematang sawah dan tidak memakai alas kaki sendal atau sepatu. Sementara saat
ini ia diberi amanah sampai menjadi menteri, anak-anaknya bisa bersekolah dengan
baik. Itu semuanya dari Tuhan. “Jadi dalam hidup ini tidak perlu takut, bukan
berarti kita tidak perlu berikhtiar, beriktiarlah, namun tidak perlu sampai
menjual prinsip.”
Itulah yang mendasari keyakinannya ketika mendukung Ibu Mega menjadi
presiden. Sebuah prinsip yang dilandaskan pada komitmen untuk membangun
demokrasi dan melaksanakan reformasi. Sebab menjadi lucu, kalau sebuah partai
yang menang pemilu tetapi malah menjadi pihak oposisi. Semua harus kita
kembalikan kepada niat kita. Kita melaksanakan rerformasi untuk mendapatkan
posisi atau ingin membangun sistem nasional yang demokratis?
Prinsipnya tidak berubah ketita PKB mencalonkan Gus Dur menjadi presiden.
Sikapnya tetap sama dan jelas bahwa ketua partai pemenang pemilu harus menjadi
presiden. Walaupun kemudian banyak orang yang menghujatnya, tapi ia yakin apa
yang ia lakukan itu benar. Maka kalaupun ia dihujat, ia lebih memilih diam saja.
Karena ajaran orang-orang tua mengatakan kalau kita melakukan yang baik suatu
ketika juga nanti akan muncul. Nasehat para orang tua ini diamalkannya dalam
pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup yang mengantarkannya ke jenjang karir
politik sebagai Menteri Pertahanan.
Namun jenjang karir politik sebagai Menhan itulah yang barangkali harus
mengantarkannya ke rumah sakit karena stroke yang dideritanya. Ia sakit justru
ketika departemen yang dikomandaninya tersangkut masalah pengadaan Heli
Mi-17-IV. Renncana pengadaan heli ini memang punya reputasi membanggakan. Ia tak
cuma tangguh sebagai heli penyerbu, dengan 1,5 ton bom, senapan mesin di kabin,
dan roket-roket di pinggangnya. Mi-17-1V juga efektif sebagai kendaraan
transpor. Sekali terbang, 30 prajurit dan perlengkapannya bisa terangkut.
Bodinya memang besar, panjang 18,4 meter, lebarnya 2,5 meter. Suaranya bising,
sembari meniupkan angin ribut dari putaran baling-balingnya yang merentang 21,3
meter.
Tak mengherankan bila TNI Angkatan Darat (AD) berhasrat memiliki heli
generasi 1980-an itu. Rencana pun disusun sejak tahun 2000 untuk membeli empat
unit. Namun, sementara heli tempur itu masih di hanggar negeri asalnya, Rusia,
angin ributnya telah menerpa ruang kerja para perwira tinggi TNI di pelbagai
instansi, mulai Departemen Pertahanan (Dephan), Markas Besar (Mabes) TNI di
Cilangkap, hingga Mabes TNI-AD di Merdeka Utara, Jakarta. Ada bau apek KKN
merebak di balik proses transaksinya.
Bau apek itu makin menyengat, setelah Komisi I DPR-RI turun tangan menggoreng
isu ini. Maka apa boleh buat, para pejabat militer, juga rekanannya, harus
datang silih berganti ke Komisi I untuk menjelaskan duduk masalahnya. Panglima
TNI Jenderal Endriartono Sutarto ketika mendapat giliran menjelaskan dalam forum
itu, ia menuding Dephan sebagai sumber masalah. Menurut dia, para pejabat Dephan
sengaja menahan uang muka pembelian skuadron miniheli tempur itu. Nilainya US$
3,2 juta, yang belakangan diketahui digantung sampai setahun. "Kalau tidak saya
obrak-abrik, uang muka itu tak bakal dibayarkan," kata alumnus Akabri Darat 1971
itu. Sinyalemen korupsi pun merebak. Ketiadaan Menteri Pertahanan Matori Abdul
Djalil, yang terserang stroke, kata Endri lagi, malah membuatnya leluasa. "Saya
bisa langsung maki-maki Sekretaris Jenderal Dephan Marsekal Madya Suprihadi dan
Direktur Jenderal Perencanaan Strategi Pertahanan (Dirjen Rensishan) Mas
Widjaja, sehingga pengadaan Mi-17-1V dapat terus berjalan," katanya. Ia
mengingatkan, ada kemungkinan muncul perkara pidana dari situ.
Nama :
H. Matori Abdul Djalil
Lahir :
Salatiga, Jawa Tengah, 11
Juli 1942
Pendidikan :
• MIN dan SR, 1956
- SMP Negeri Salatiga
-
SMA Negeri Salatiga
- Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga
Organisasi :
• Anggota Pandu Anshor (1955-1957)
- Ketua
Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga
- Ketua Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga (1964-1968)
- Wakil Ketua
DPC Partai NU Kabupaten Semarang/Kodya Salatiga (1968-1971)
- Ketua
Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga
(1966-1968)
- Ketua II PW Anshor Jawa Tengah
- Wakil Sekretaris PW NU
Jawa Tengah
- Sekretaris PW NU Jawa Tengah (1979-1982)
- Ketua DPC PPP
Kabupaten Semarang
- Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah (1982-1987)
-
Sekretaris Jenderal DPP PPP (1989-1994)
- Ketua Umum PKB (1998 hingga
sekarang)
Karir:
• Wakil Ketua DPRD II Salatiga (1968-1971)
- Wakil
Ketua DPRD II Semarang (1971-1977)
- Anggota DPRD I Jawa Tengah (1977-1987)
- Anggota DPR RI (1987-1992, 1992-1997)
- Anggota DPR dan Wakil Ketua
MPR (1999-2001)
- Menteri Pertahanan Kabinet Gotong-Royong (2001-2004