Minggu, 24 Maret 2013

YANGSUKSES-MARIMUTU


Marimutu Sinivasan
dan intellectual capital 
 Sinivasan lahir di Medan, Sumatra Utara, 17 Desember 1937. Di kota itulah pria keturunan Tamil India ini menempuh pendidikan dasar hingga universitas. Tetapi, ia tidak lama duduk di bangku kuliah Universitas Islam Sumatra Utara, karena keburu bekerja di sebuah perusahaan perkebunan. Tidak lama di sana, kemudian ia terjun ke dunia bisnis. “Saya merasa tidak cocok jadi pegawai,” katanya.
Kakek enam cucu ini mulai berbisnis tekstil pada 1958. Dua tahun kemudian ia pindah ke Jakarta. Pada 1962 ia membuka pabrik pembuatan polekat—bahan sarung—yang pertama di Jakarta. Kemudian pada 1967 ia bisa mendirikan perusahaan batik dan selanjutnya membuka pabrik penyelupan. Pada 1972, Sinivasan membeli pabrik batik di Batu, Jawa Timur.
Pada 1977 ia membangun pabrik poliester di Semarang, selanjutnya pada 1985-1986 ia membangun pabrik polimer lagi. Setahun berikutnya, ia membangun pabrik garmen di Ungaran— sekarang dikelola adiknya, Marimutu Manimaren. Kawasan pabrik Texmaco seluas 1.000 hektare di Subang, Jawa Barat, lengkap dengan sekolah politeknik mesin, diresmikan oleh menteri perindustrian waktu itu, Ir. Hartarto.
Di Serang pulalah pabrik alat berat dan mesin Texmaco dipusatkan. Salah satu produknya, truk Perkasa, dipesan 800 unit oleh TNI. Di Karawang, sebelah timur Jakarta, Texmaco juga membangun kompleks pabrik tekstil seluas 250-an hektare. Produk tekstilnya, merek Simfoni dan Texana, dikenal luas, selain untuk kebutuhan dalam negeri juga banyak dipesan beberapa perusahaan terkenal, seperti Mark & Spencer dari Inggris atau Tomy Helfinger dari Amerika Serikat.
Sinivasan memang termasuk salah seorang pengusaha nasional yang sangat sukses. Penggemar membaca ini masih menempati rumah kontrakan di Jalan Pasuruan 4 Menteng, Jakarta Pusat. Rumah bertingkat dua itu ditinggalinya bersama istrinya. Sementara itu, rumahnya sendiri di Jalan Tulungagung, tak jauh dari rumah kontrakannya, tidak ditempati. Tidak jelas apa alasannya. Di garasi rumah yang lumayan besar itu, terparkir tiga Mercedez Benz tipe 300 E dan satu BWM seri 740 iL. Sinivasan lebih suka mengendarai Volvo 960 hitam nomor B1142NO ketimbang empat mobil lainnya itu.
Ada kebiasaan menarik dari keseharian Sinivasan: ia harus tidur minimal enam jam sehari. “Kalau kurang tidur, konsentrasi saya menurun,” katanya. Rupanya, kebiasaan itu sudah “bawaan” sejak remaja. Bahkan, dulu lebih dahsyat lagi. Lelaki yang kini memimpin 30-an perusahaan ini biasa tidur sampai delapan jam sehari. Toh, ia tidak pernah kekurangan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. “Kuncinya adalah memanfaatkan jam kerja sebaik mungkin,” katanya. Pukul 7.30, ia sudah asyik di ruang kerja dan baru pulang setelah larut malam.
Berbagai predikat negatif sudah diberikan kepadanya. Sebut saja pengusaha hitam, pengusaha edan, tukang suap, kriminal, pendiri pabrik rongsokan, dan sebagainya. Tapi, Marimutu Sinivasan, CEO Texmaco Group tampak tetap tegar. Dia tidak terlalu ambil pusing atas berbagai penilaian itu. Karena dia merasa apa yang dia buat adalah untuk kepentingan bangsa dan negara. Sinivasan berobsesi membangun industri enjiniring demi kemajuan bangsa dan negara. Pengusaha yang tak sempat main golf dan tenis ini yakin, suatu saat, bisnis enjiniring yang dibangunnya akan menjadi andalan.
Industri enjiniring, khususnya otomotif di tanah iir adalah killing field. Manakala Indonesia ingin membangun industri otomotif nasional selalu dibantai. Seperti halnya sedan Timor yang sempat menurunkan harga mobil, tapi dibantai kiri-kanan. Meski ladang pembantaian, Sinivasan tak surut. Jika Jepang dan Korsel mampu mandiri dalam bidang industri barang modal dan otomotif, Indonesia juga bisa. Indonesia tak perlu inferior.
“Bung Karno bilang, kita bukan bangsa tempe, dan saya ingin mewujudkan kebenaran pandangan itu,” ujar ayah enam anak yang merintis usaha dari nol sejak 39 tahun silam.Tanpa tedeng aling-aling, pengusaha yang tetap tampak energik itu menanggapi berbagai penilaian buruk kepadanya.
Utang Texmaco yang berjumlah Rp 16,5 triliun itu, awalnya sekitar Rp 7 triliun. Karena pinjaman diperoleh dalam dolar pada kurs Rp 2.400 per dolar AS. Waktu itu, bunga pinjaman dolar sekitar 11 persen, sedang rupiah sekitar 22 persen.
Ketika terjadi krisis ekonomi, sebagian pinjaman dolar ditukar pada kurs Rp 10.000 dan Rp 12.000 oleh bank kreditor. Dengan melemahnya nilai rupiah, maka utang Texmaco membengkak menjadi Rp 16,5 triliun. Kredit itu berjangka waktu 7-8 tahun. Tapi, konsultan, yang ditunjuk oleh BPPN, menilai bahwa kredit ini dapat dibayar kembali dalam waktu 11 tahun. Acuan restruksturisasi adalah cash flow perusahaan. Semua aset Texmaco sudah diserahkan ke BPPN.
Marimutu merasa heran kenapa ada yang mengaku pengamat ekonomi terlalu memandang negatif terhadap Texmaco. Namun dia mengagumi ekonom senior seperti Sumitro Djojohadikusum, Mohammad Sadli, Frans Seda, dan Emil Salim. Karena komentar mereka tentang suatu masalah ekonomi bersih dari unsur kepentingan.
Kedekatan dengan Pak Harto dan BJ Habibie. Bahkan bisa merebut simpati Gus Dur dan Megawati. Marimutu tidak merasa ada perlakuan khusus dari para pemimpin itu. “Kalau saya diberi hak monopoli, kemudahan mendapat dana, pembebasan dari proses hukum, dan sebagainya, itu baru namanya perlakuan khusus,” katanya. Tapi, silakan teliti,mana ada bisnis tekstil yang monopoli? Begitu memasuki bisnis enjiniring, apakah Texmaco meminta hak monopoli? “Kami memasuki bisnis dengan kesadaran penuh untuk menghadapi persaingan dan pasar bebas,” ujarnya. Mengenai kedekatan dengan Soeharto? Apakah Texmaco mendapat hak monopoli selama 32 tahun seperti sejumlah perusahaan milik konglomerat tertentu?
“Saya mendapatkan kredit lewat prosedur biasa. Tidak ada unsur KKN dalam proses mendapatkan kredit. Toh, selain dari Bank domestik, Texmaco mendapat pinjaman sekitar 1,3 miliar dollar AS dari lembaga keuangan asing. Pinjaman dari lembaga keuangan asing itu tak bisa diperoleh dengan KKN, tapi berdasarkan pertimbangan bisnis murni,” tegasnya.
Sebelum krisis, 1997, Texmaco sudah menjadi nasabah BNI selama lebih dari 30 tahun. Selama kurun waktu itu, tidak pernah terjadi default pembayaran bunga maupun angsuran. Bahkan Texmaco membayar kembali 500 juta dollar AS kreditnya kepada BNI dan BRI. Setelah pengembalian uang tersebut, Texmaco memasuki bidang enjiniring dengan mengajukan 1 miliar dolar AS kredit untuk enjiniring dari BNI, BRI dan beberapa bank lainnya dalam suatu konsorsium. Permohonan itu disetujui karena track-record Texmaco dinilai patut dan layak menerima kredit tersebut.
Texmaco hanya mendapatkan penjadwalan ulang. Itu wajar, karena sesuai dengan skala usaha Texmaco dan hasil due diligence pihak ketiga . Lagi pula, sebelum krisis, Texmaco mendapat grace period sekitar dua tahun dan pembayaran kembali 5-6 tahun.
Selain itu, pemerintah kini menguasai 70 persen Texmaco (Newco). Pihak BPPN sudah menjelaskan, porsi kepemilikan 70 – 30 persen di Newco di maksudkan untuk memberikan voting rights kepada pemerintah dalam mengamankan aset-aset Texmaco. Dengan menguasai mayoritas, maka tak ada penjualan aset Texmaco yang diluar persetujuan BPPN.
Pola restrukturisasi utang Texmaco lebih tepat disebut rescheduling atau penjadwalan ulang. Bukan debt to equity swap. Dan itu sangat wajar, mengingat krisis ekonomi yang begitu dalam – yang antara lain disebabkan oleh kebijakan pemerintah – melipatgandakan jumlah utang. Dengan penjadwalan ulang, utang tetap utang, dan untuk melunasi utang itu diterbitkan exchangeable bonds.
Kwik Kian Gie saat menjabat Menko Ekuin pernah menudingnya dengan kata pengusaha hitam. Marimutu menanggapinya dingin. Menurutnya, kata pengusaha hitam itu lebih berkonotasi rasial. “Apa karena kulit saya ini hitam, maka dibilang pengusaha hitam? Mereka kerap menyebut saya pengusaha keturunan India. Padahal, saya sudah generasi ketiga di Indonesia dan sungguh-sungguh merasa sebagai orang Indonesia. tak mode lagi kita bicara soal SARA. Pengusaha hitam dalam arti moral, saya tak mengerti. Karena kita tak bisa dengan mudah menilai moral seorang, apalagi hanya berdasarkan isu,” katanya.
Texmaco dinilai piawai dalam melobi sehingga selalu survive dalam setiap rezim, mulai dari rezim Soeharto, Habibie, Gus Dur hingga Megawati.
“Kalau kami jago melobi, maka takkan ada pers yang ngerjain Texmaco. Saya akan melobi konglomerat pers, Jakob Oetama, dan para pimpinan media massa terkemuka di negeri ini,” kata Sinivasan. Dia pun mengingatkan kata-kata Goobels, menteri penerangan dan propaganda masa Hitler. Goobels bilang, kebohongan yang digulirkan terus menerus, suatu saat, akan dirasakan sebagai kebenaran. Begitu juga berita bohong tentang Texmaco.
Pabrik enjiniring Texmaco dibilang barang rongsokan. Stir dan rem truk Perkasa diisukan berkualitas jelek. Mereka tak paham atau pura-pura tak paham bahwa truk Perkasa menggunakan rem angin atau air brakes dan stirnya sudah menggunakan power steering, dan semua mengunakan lisensi dari jerman dan Inggris. Truk Perkasa sudah masuk kategori Euro I dilihat dari emisi gasnya, dan pada tahun depan menjadi Euro II. Banyak truk dan kendaraan di Indonesia saat ini masih belum masuk Euro I dalam hal polusinya.
“Mereka menyebut saya tukang suap. Ada juga berita yang menyebutkan, Rizal Ramli itu konsultan Texmaco dan Taufik Kiemas pernah menjadi komisaris Texmaco. Sejumlah media terus-menerus menghembus isu pengusaha hitam. Malah sebuah majalah berita mingguan dalam opininya menyatakan, Sinivasan adalah kriminal. Perlu ada poster ‘wanted’ lengkap dengan foto yang disebarkan ke seluruh pelosok negeri.
Opini media itu menyatakan saya tak kooperatif. Padahal, tak pernah satu kalipun saya menolak panggilan Kejakgung. Dan saya juga tak meminta pengampunan utang. Utang bukan dosa, dan kami bersedia membayar semua utang itu. Itu semua adalah trial by the press yang dilakukan dengan sistematis oleh pers yang berkolaborasi dengan kelompok kepentingan tertentu yang menghendaki Texmaco hancur.
Sejak muda, saya sangat terkesan dengan pemikiran para founding father kita. Bung Karno berupaya membangkitkan harga diri bangsa dengan menancapkan pandangan bahwa “ kita bukan bangsa tempe “. Bung Hatta menekankan pentingnya upaya meningkatkan kemampuan ekonomi rakyat, antara lain, lewat koperasi. Sedang Bung Sjahrir mengemukakan pentingnya industrialisasi, modernisasi, dan mekanisasi mulai dari desa-desa.
Saya berupaya melaksanakan gagasan para founding father dengan mengembangkan intellectual capital serta membangun industri engeneering terpadu. Saat ini, ada sekitar 3.000 sarjana yang bekerja di Texmaco. Para sarjana itu mampu mendesain, membuat mesin-mesin yang digerakkan oleh komputer yang seluruh produk elektroniknya dirancang dan dibangun di Indonesia.
Mereka bisa membuat 80 persen mesin industri otomotif, traktor, diesel, transmisi, industri tekstil, alat-alat industri baja dan sebagainya. Semua itu dikerjakan putra Indonesia. Mungkin hanya sekitar 20 persen komponen yang masih diimpor.
Berapa besar aset intelektual yang sudah diciptakan Texmaco? Mereka mampu membuat mesin tekstil, mesin perkakas berstandar dunia, dan rancang bangun. Kini mereka juga mulai membuat aneka mesin, komponen otomotif, motor, traktor, truk, hingga mobil penumpang. Inilah intangible assets atau aset maya yang tak ternilai harganya.

Nama :
Marimutu Sinivasan
Lahir :
Medan 17 Desember 1937
Pendidikan :
- SD-SMA, Medan
- Universitas Islam Sumatra Utara (UISU), tidak tamat
Jabatan :
Presiden Direktur Group Texmaco
Anak :
Rani, Dewi, Mega, Marina, Mirna, dan Gandhi Ben.

YANGSUKSES-MATORI


Politisi ‘Penurut’ yang Teguh Prinsip
 politisi yang ‘penurut’ tapi teguh dalam prinsip. Dia tergolong politisi yang licin, akomodatif dan tenang tapi kadang-kala meledak. Jiwa kebangsaannya telah terpatri sejak masa belia. Keteguhan prinsip dan jiwa kebangsaan telah mengantarkannya ke jenjang karir politik sebagai Menteri Pertahanan.
Pada saat tertentu, dia terkesan sangat penurut kepada ‘Sang Guru’ yang disimbolkan sujud dan cium tangan setiap kali ketemu. Tapi dalam hal yang dianggapnya sangat prinsipil dan konstitusional dia pun mampu melepaskan diri dari bayang-bayang ‘Sang Guru”.
Itulah yang dilakoni dalam perjalanan hidup dari sejak masa mudanya. Ia seorang politisi yang menapaki karir plotik dari bawah, dari anggota DPRD Tingkat II, DPRD Tingkat I, DPR dan Wakil Ketua MPR sampai menjadi Menteri Pertahanan. Pria yang lahir di sebuah desa di luar kota Salatiga, Jawa Tengah 11 Juli 1942, ini sejak kecil sudah suka terlibat dalam organisasi dan mempunyai kepedulian kepada kepentingan masyarakat. Mungkin sudah bawaan dari garis keturunan. Kakek dan kakek buyutnya adalah kepala desa yang dikenal sebagai orang yang senantiasa punya kepedulian terhadap rakyat dan kepentingan umum.
Semasa anak-anak bersama teman-temannya, Matori sudah belajar berorganisasi dalam bentuk mendasar. Seperti, mengatur pelaksaan pertandingan sepak bola. Mulai dari mempersiapkan peralatan, pendanaan dengan iuran bersama, pembuatan kostum sederhana dengan kaos oblong yang kemudian diwarnai. Ini tertutama ketika musim-musim hari kemerdekaan 17 Agustus. Kegemaran berkumpul dan berorganisasi itu terus belanjut dari sejak SD hingga di bangku kuliah.
Pada usia belia, ia juga sudah memperhatikan semangat para pemuda bangsa yang dalam pengabdian mempertaruhkan nyawa demi kepentingan kemerdekaan bangsa. Saat itu bangsa kita dalam kondisi puncak perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI. Hal ini memberikan rangsangan dan inspirasi baginya untuk cinta tanah air dan memiliki sikap patriotik.
Maka awalnya ia bercita-cita menjadi tentara. Tetapi karena ia buta warna, ia tidak berani mendaftar jadi tentara. Akhirnya ia memilih terlibat dalam lembaga kemasiswaaan hingga partai politik, sebagai tempat pengabdian. Selain belajar dalam jenjang pendidikan formal, ia juga banyak belajar dan bertanya kepada orang yang lebih tua, terutama kepada eks tentara pelajar. Dari mereka Matori banyak belajar tentang bagaimana sebaiknya bangsa ini. Sehingga sejak remaja ia sudah memahami kemajemukan bangsanya, baik agama, suku, etnis dan golongan.
Ia menjadi paham mengapa pendiri bangsa ini memilih Pancasila sebagai dasar negara, bukan agama atau ideologi yang lain. Itu semata-mata karena sebuah kesadaran yang kuat betapa beragamnya bangsa ini. “Sebab kalau kita menganggap bangsa ini dalam ukuran suatu etnis, saya pikir kita tidak mungkin bersama dengan saudara-saudara kita dari Irian Jaya, yang memiliki perbedaan, warna kulit dan budaya,” kata Matori dalam percakapan dengan Tokoh Indonesia di Kantor Menhan, Jalan Merdeka Barat, Jakarta.
Juga kalau kita melihat bangsa ini dari ukuran sebuah agama, tidak mungkin misalnya masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu dapat bersatu dengan orang-orang yang ada di pulau Jawa. Terlebih jika dilihat satu pulau, contohnya di pulau Jawa, betapa beragamnya dari segi etnik dan agama. Kenyataan ini semakin meyakinkannya bahwa jikalau bangsa ini ingin eksis, harus melihat bentuk Negara Kesatuan berdasarkan Pancasila, sebagai bentuk dan dasar negara yang sudah final.
Tujuan bangsa ini yaitu ingin sederajat dengan bangsa lain dan mencerdaskan bangsa menuju cita-cita ke arah sebuah masyarakat yang “toto tentrem” dan “kerto raharjo” yaitu dengan cara setiap orang harus bersikap sebagai pejuang dalam bidangnya. Apakah ia di partai, pers, pegawai negeri, aktivis sosial. Hal-hal inilah yang senantiasa menjadi pemikirannya, ketika ia masuk berpolitik dari bawah hingga sekarang.
Dalam memandang bangsa ini dari sisi pertahanan dan keamanan, terlebih ia melihat dari kaca mata sebagai orang Jawa. Bukan menjadi primodial. Namun karena ia dibesarkan di Jawa, sehingga berbagai pengetahuan yang ia peroleh dari masyarakat adalah menjadi acuan pola berpikirnya, sebagai umumnya manusia.
Ia menganalogikannya dengan pergelaran wayang kulit. Pertama kali Ki Dalang menyanjung sebuah negara dengan istilah panjang, punjung, pasir, wukir gemah ripah loh jinawi. Ia melihat bangsa Indonesia seperti itu. Panjang dan punjung itu artinya panjang, luas lebar. Pasir itu berarti pantai, ini menunjuk kepada pantai sebagai tempat perdagangan. Kemudian perbukitan berarti pertanian, lalu gemah ripah loh jinawi berarti kaya sumber daya alam dan subur. Sumber alam kita begitu kaya dan subur sekali. Ini adalah sebuah fakta dan ini adalah anugerah bagi bangsa ini. Namun sesugguhnya ada dua hal yang menjadi tugas besar bangsa ini yaitu terciptanya “toto tentrem” dan “kerto raharjo”.
Toto tentrem itu adalah yang berhubungan dengan keamanan (security). Sedangkan kerto raharjo itu adalah kesejahteraan (prosperity). Sehingga kuncinya adalah bagimana kita menjadikan kondisi keamanan yang bagus, sehingga akhirnya kesejahteraan tercapai. Tidak pernah dikatakan kerto raharjo dan toto tentrem. Tapi toto tentrem terlebih dahulu, kemudian kerto raharjo. Seperti, sandang pangan bukan pangan sandang. Ini berarti bahwa yang pertama adalah yang utama bagi kita sebagai manusia berbudaya.
Contohnya, bayi saat dilahirkan. Pertama kali diselimuti dengan kain baru kemudian diberi ASI. Ini tanda manusia itu beradab dan berbudaya. Lebih baik kita tidak makan dulu daripada tampil telanjang. Karena jika kita tidak telanjang, kita dapat mencari makan. Demikian juga kalau kita bicara di dalam dunia ekonomi, bahwa antara stabilitas dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang bersifat absolut. Tidak mungkin ada investor jika tidak ada keamanan yang pasti. Setidaknya itulah yang menguat dalam benaknya, ketika dipercayakan memimpin Departemen Pertahanan. “Bagi saya ketika ditempatkan di dalam departemen ini merupakan sebuah amanah yang tidak ringan, bagaimana terciptanya keamanan yang bagus yang berlanjut dengan tumbuhnya kesejahteraan yang diharapkan,” ungkapnya.
Reformasi adalah tugas besar bagi bangsa Indonesia yaitu satu proses yang disengaja demi terciptanya suatu sistem nasional yang demokratik, sebagaimana yang diharapkan oleh pendiri republik ini. Namun, menurut Matori, kita perlu menyadari bahwa kematangan berdemokrasi Bangsa Indonesia itu belum cukup. Padahal jika ingin membangun suatu sistem bukan hanya sturkturnya saja yang dibangun, Tapi juga kulturnya harus dibangun. Lalu apakah sebenarnya demokrasi hanya merupakan kebebasan saja? Sejarah dalam Revolusi Prancis mencatat bahwa domokrasi mencakup tiga hal: kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan.
Sehingga jika ingin membangun kultur demokrasi, tiga nilai tersebut harus dibangun secara bersama. Tiga nilai itu memiliki pengertian: ketika saya merasa bebas, pada saat itu juga saya harus begitu yakin kalau orang-orang di sekitar saya juga merasakan hal yang sama. Namun jika yang bebas hanya saya, itu bukan demokrasi namanya. Ketika kebebasan dirasakan bersama, maka yang muncul adalah kompetisi. Kompetisi yang sehat harus memiliki “rule of the game”.
Contohnya, dalam pertandingan sepak bola, kedua tim diberikan kebebasan untuk menggolkan bola sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam aturan permainan. Nah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu disebut sebagai “rule of law”. Sehingga persaingan atau kompetisi itu didasari oleh hukum. Jika hukum sudah ada maka harus ada law inforcement (penegakan hukum). Ketika ada yang patut terkena “kartu kuning” diberikan “kartu kuning” dan jika patut terkena “kartu merah” harus diberi “kartu merah” juga.
Jadi siapa pemenangnya, setiap pihak menjadi puas. Seperti di saat akhir pertandingan sepak bola, mereka saling tukar-menukar kostum, bersalaman dan berpelukan. Muncul persaudaraan. Persaudaraan itu ada karena adanya fairplay. Sehingga jika kita berdemokrtasi itu adalah untuk bersatu.
Matori menuturkan kata-kata itu dalam penghayatan yang tulus. Sejak muda ia memang sudah aktif dalam kegiatan dan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar dan moderat (kebangsaan). Keluarganya memang datang dari kalangan NU. Boleh disebut, karier politiknya dibangun dari organisasi massa Islam tradisonal tersebut, sejak ia mulai menjadi anggota Pandu Anshor pada tahun 1955-1957. Ketika di SMA ia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga. Waktu kuliah, Matori menjadi Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga, 1964-1968. Juga menjabat Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga, 1966-1968. Tahun 1966-1973, menjadi Wakil Ketua DPC Partai NU Kabupaten Semarang/Kotamadya Salatiga.
Suami dari Ny Sri Indarini ini, pada tahun 1976-1981 menjabat Ketua II Anshor Wilayah Jawa Tengah tahun 1976-1981. Di saat yang hampir bersamaan, ia juga menjadi Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah dan kemudian naik menjadi Sekretaris PWNU Jawa Tengah, 1979-1982. Tahun 1973 sampai 1981 ia menjabat Ketua DPC Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Kabupaten Semarang. Lalu, 1982-1987, menjadi Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah.
Di jalur legislatif, Matori benar-benar memulai karirnya dari bawah. Wakil Ketua DPRD II Salatiga, 1968-1971. Kemudian sebagai Wakil Ketua DPRD Semarang, 1971-1977. Lalu naik menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah, 1977-1987. Dan menembus Senayan sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi PPP, 1987-1992 dan 1992-1997. Serta menjadi anggota DPR dan Wakil Ketua MPR (1999-2001).
Namanya sebagai politikus nasional mencuat ketika ayah delapan anak itu menjadi Sekjen DPP PPP, pada 1989-1994. Dia melakoninya sebagai Sekjen yang ‘patuh’ kepada Ketua Umumnya. Namun setelah periode itu selesai, ia pun bertarung dengan Ketua Umumnya sendiri, Ismail Hasan Metareum, untuk memperebutkan Ketua Umum DPP PPP periode berikutnya. Dia kalah. Buya Metareum terpilih kembali melanjutkan kepemimpinan PPP periode 1994-1997. Matori lalu terdepak.
Namanya sempat bagai menghilang dari percaturan politik. Baru terdengar lagi ketika aktif menjadi Sekretaris Umum Yayasan Kerukunan Persaudaraan Kebangsaan (YKPK), mendampingi mantan KSAD, Bambang Triantoro, yang tampil sebagai ketuanya. Lalu reformasi bergulir, orang pun dengan mudah mendirikan partai. NU, sebagai organisasi massa terbesar di Indonesia pun tak ketinggalan, mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di bawah prakarsa Abdurrahman Wahid. Matori pun ditunjuk untuk memimpin partai yang konon mewadahi aspirasi politik kaum Nadhliyin itu.
Setelah Pemilu 1999 usai, Matori menjagokan Megawati Sukarnoputri, selaku Ketua Umum PDIP pemenang Pemilu, sepantasnya jadi Presiden menggantikan BJ Habibie. Pendapatnya masih sejalan dengan Gus Dur – yang dianggapnya sebagai ‘Sang Guru’ – yang sebelum Pemilu sering mengemukakan dukungan pribadinya kepada “saudarinya’ Megawati.
Tapi ketika, Poros Tengah yang merupakan Poros Islam yang dimotori Amie Rais Cs mengumpan Gus Dur paling pantas jadi presiden, Gus Dur dengan cekatan manangkap peluang itu. Tapi Matori masih saja terlihat tetap pada pendirian menjagokan Megawati.
Hingga tiba saatnya pada Sidang Umum MPR Oktober 1999, Matori berada di antara dua pilihan sulit. Tetap mendukung Megawati sebagai calon presiden atau berbalik memihak mendukung Gus Dur, sang pelindungnya di PKB dan NU. Ia mencoba tetap bertahan dengan sikapnya yang menjagokan Megawati.
Dua minggu sebelum SU MPR itu, Matori yang saat kampanye Pemilu muncul sebagai bintang iklan bagi PKB ini masih menegaskan, PKB tetap mendukung Megawati. "Sekecil apa pun bagi Megawati akan saya upayakan untuk menjadi besar," imbuhnya. Lebih jauh, Matori menganggap kalau Megawati kalah, berarti pertarungan dimenangkan oleh status quo. Sebaliknya ia justru mencurigai upaya Poros Tengah itu. "Saya melihat, itu lebih sebagai upaya Amien Rais untuk mendapatkan posisi yang dia harapkan bagi dirinya sendiri. Jadi bukan untuk Gus Dur," kata Matori sebagaimana dikutip sebuah majalah. Ia juga sempat mempunyai penilaian bahwa Poros Tengah itu bukanlah sebuah kekuatan yang solid.
Tetapi sekalipun kekuatan Poros Tengah (yang semula diperkirakan hanya memperalat Gus Dur) tidak solid, terbukti menjadi kekuatan sangat dahsyat dalam Sidang Umum MPR 1999 oleh kepiawian politik Gus Dur memanfaatkan peluang yang dilempar Poros Tengah. Gus Dur dari partai pemenang keempat, berhasil merebut tampuk pemerintahan di Indonesia, menjadi Presiden.
Matori sendiri, yang sebelumnya berhasrat dan dijagokan PDIP dan PKB untuk menjadi Ketua MPR, dikalahkan pula oleh kekuatan yang dibangun Poros Tengah. Pasalnya, Gus Dur tidak mendukung Matori tapi mendukung Amien Rais. Amien Rais pun naik menjadi Ketua MPR, unggul dengan selisih 26 suara dari Matori . Sementara Matori sendiri, harus puas menjadi Wakil Ketua MPR.
Pembangkangan Matori kepada Gus Dur, sempat diperkirakan akan menimbulkan keretakan hubungannya dengan Sang Guru. Namun, dengan cekatan Matori melakukan suatu tindakan politik yang brilian. PKB yang dipimpinnya mencalonkan Megawati untuk jabatan Wakil Presiden. Gus Dur dan Matori akhirnya muncul sebagai pemenang sesungguhnya pada di akhir Sidang Umum MPR 1999 itu. Poros Tengah yang menjagokan Hamzah Haz kalah telak. Akhirnya, bagi Matori, yang datang dari keluarga NU ini, pemilihan presiden yang tadinya seperti buah simalakama berubah menjadi berkah.
Berkat kepiawian Matori itu, tak heran bila pada Muktamar PKB yang berlangsung beberapa bulan kemudian, Gus Dur bersikukuh mempertahankan Matori memimpin kembali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tidak banyak perdebatan, apalagi saling bertegang urat leher. Adalah Abdurrahman Wahid, yang terpilih sebagai Ketua Dewan Syuro yang 'menunjuk' Matori untuk memimpin kembali PKB. Sementara Alwi Shihab, yang sebelumnya sempat kepincut untuk duduk di puncak kepengurusan, harus rela mengubur keinginannya.
Calon lainnya, KH Mustopa Bisri, pagi-pagi sudah menyatakan mundur dari pencalonan itu. Meskipun, menurut pengakuan Gus Dur, sejumlah kiai di Jawa dan Luar Jawa menghendaki kiai penyair itu. "Tadinya saya mau mengajak Pak Matori dalam Dewan Syuro. Tetapi Gus Mus tidak mau (jadi Ketua Umum PKB-red). Ya, sudah. Kita kembali ke bentuk asal," kata Gus Dur dalam pengantarnya sebagai Ketua Dewan Syuro di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya (26/7). Terkuburlah keinginan beberapa ulama dan kader PKB yang sebelumnya menghendaki penggantian Matori. Dia pun kembali berjalan seiring dengan Sang Guru.
Sampai pada akhirnya, ketika Gus Dur mengeluarkan dekrit pembubaran DPR dan MPR yang bermuara pada dipercepatnya Sidang Istimewa MPR yang memberhentikan Gus Dur dari kursi presiden, Matori benar-benar mengambil sikap berlawanan dengan kehendak Gus Dur. PKB yang sudah menyepakati melarang setiap anggotanya menghadiri Sidang Istimewa itu, dilanggar oleh Matori. Ia dengan gagah tampil pada prinsip yang diyakininya. Ia tidak menghiraukan larangan itu. Ia pun menghadiri Sidang Istimewa itu. Gus Dur pun berang. Dan selaku Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur memecat Matori dari jabatan Ketua Umum PKB.
Sekali lagi, Matori mananggapinya dingin. Ia menganggap pemecatan itu tidak sah. Apalagi, ia sedang berada dalam suasana sukacita ketika Megawati mempercayainya menjabat Menteri Pertahanan Kabinet Gotong Royong 2001-2004.
Beberapa bulan berikutnya, Matori pun menyelenggarakan Muktamar PKB yang menetapkannya tetap sebagai Ketua Umum PKB, yang kemudian dikenal sebagai PKB Batutulis. Sehari berikutnya, kubu Gus Dur menyelenggarakan Muktamar PKB yang memilih Alwi Sihab sebagai Ketua Umum. PKB pimpinan Alwi Sihab ini kemudian dikenal sebagai PKB Kuningan. Kedua PKB ini akhirnya harus bertemu di pengadilan untuk menentukan siapa yang berhak menamakan diri PKB yang sah. Matori, yang menghabiskan masa kecil dan remajanya serta mengenyam pendidikan dasar hingga perguruan tingginya di kota kelahirannya, Salatiga, tetap menegakkan kepala sebagai seorang politisi yang tidak bisa disepelekan.
Ia pun kemudian tetap membina hubungan pribadi dengan Gus Dur, sebagai seorang sahabat dan guru yang dihormatinya. Ia seorang yang percaya bahwa hidup dan perjuangan itu tidak dapat dilakukan sendiri. Makin banyak teman makin baik. Karena itu ia selalu berusaha membangun jaringan dengan siapa pun. Baik dengan tidak seagama atau satu daerah, namun dengan siapa saja yang memiliki satu idealisme yang sama, mari bersama-sama! Dengan itu dapat terlihat apakah orang itu mengabdi kepada idelisme atau kepada kepentingan pribadinya ketika sedang mengambil keputusan yang menyangkut bangsa.
Ia selalu berharap dalam setiap sikap dan usaha senantiasa Tuhan memberi kekuatan. Kekuatan itu dimilikinya setiap kali mengambil keputusan sesuai dengan prinsip dan komitmen yang diyakininya benar. “Jadi ketika prinsip berbeda, kita memang tidak boleh lagi bersama-sama, meskipun secara pribadi hubungan tidak putus. Tapi jika dalam satu hal berbeda, apalagi menyangkut bangsa dan negara, saya selalu berusaha apa yang saya lakukan itu konsisten dengan apa yang saya katakan atau ucapkan. Ketika memperjuangkan dermokrasi dengan konstitusi, saya harus turut di dalamnya. Karena di dalam Islam dikatakan bahwa “dosa besar dihadapan Allah itu adalah orang yang bisa bicara, tetapi tidak bisa melaksanakan yang diucapkan,” katanya.
Dalam hal ini ia bertekad menjadi orang yang memiliki rasa malu teradap diri sendiri, manakala tidak konsisten dengan apa yang ia katakan. Maka seberat apapun dalam mengambil keputusan, ia percaya kalau dilakukan dengan ihklas, meskipun semua orang memusuhi, Tuhan pasti menolong. Karena Al-quran mengatakan “kalau memang kamu membela Allah, membela kebenaran sesuai dengan kehendak-Nya, maka yang akan meneguhkan dirimu adalah Tuhan sendiri.
Hal inilah yang meneguhkannya menghadiri Sidang Istimewa MPR 2001, berseberangan dengan Gus Dur. Ia sejak semula mempunyai prinsip menegakan konstitusi bagaimana pun keadaanya. “Sebab kelemahan saya dalam politik, saya tidak dapat berkompromi terhadap hal-hal yang prinsipil dan konstitusional,” ungkap Matori. Lagi pula ia yakin segala sesuatu itu datang dari Tuhan. Jadi ia tak perlu takut lalu menjual prinsip.
Kesadaran ini mengental terlebih ketika ia hendak dibunuh, ternyata tidak mati. Dari hal itu ia makin yakin kematian itu bukan manusia yang mengira-ira. “Boleh saja orang mau membunuh saya, tapi kalau Tuhan tidak menakdirkan saya mati pada hari itu, ya saya tidak mungkin mati. Bukan karena saya sakti tapi karena Allah. Saat kita lahir dalam keadaan telanjang, tidak berdaya, tetapi Tuhan menanamkan kasih kepada kita masing-masing, sehingga ibu kita merawat dan membesarkan kita. Kasih yang ada dalam ibu ini adalah datang dari Tuhan,” kata Matori lalu mengungkap sebagian kisah masa kecilnya.
Ketia masih SD, ia harus berjalan jauh untuk sampai ke sekolah melewati pematang sawah dan tidak memakai alas kaki sendal atau sepatu. Sementara saat ini ia diberi amanah sampai menjadi menteri, anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik. Itu semuanya dari Tuhan. “Jadi dalam hidup ini tidak perlu takut, bukan berarti kita tidak perlu berikhtiar, beriktiarlah, namun tidak perlu sampai menjual prinsip.”
Itulah yang mendasari keyakinannya ketika mendukung Ibu Mega menjadi presiden. Sebuah prinsip yang dilandaskan pada komitmen untuk membangun demokrasi dan melaksanakan reformasi. Sebab menjadi lucu, kalau sebuah partai yang menang pemilu tetapi malah menjadi pihak oposisi. Semua harus kita kembalikan kepada niat kita. Kita melaksanakan rerformasi untuk mendapatkan posisi atau ingin membangun sistem nasional yang demokratis?
Prinsipnya tidak berubah ketita PKB mencalonkan Gus Dur menjadi presiden. Sikapnya tetap sama dan jelas bahwa ketua partai pemenang pemilu harus menjadi presiden. Walaupun kemudian banyak orang yang menghujatnya, tapi ia yakin apa yang ia lakukan itu benar. Maka kalaupun ia dihujat, ia lebih memilih diam saja. Karena ajaran orang-orang tua mengatakan kalau kita melakukan yang baik suatu ketika juga nanti akan muncul. Nasehat para orang tua ini diamalkannya dalam pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup yang mengantarkannya ke jenjang karir politik sebagai Menteri Pertahanan.
Namun jenjang karir politik sebagai Menhan itulah yang barangkali harus mengantarkannya ke rumah sakit karena stroke yang dideritanya. Ia sakit justru ketika departemen yang dikomandaninya tersangkut masalah pengadaan Heli Mi-17-IV. Renncana pengadaan heli ini memang punya reputasi membanggakan. Ia tak cuma tangguh sebagai heli penyerbu, dengan 1,5 ton bom, senapan mesin di kabin, dan roket-roket di pinggangnya. Mi-17-1V juga efektif sebagai kendaraan transpor. Sekali terbang, 30 prajurit dan perlengkapannya bisa terangkut. Bodinya memang besar, panjang 18,4 meter, lebarnya 2,5 meter. Suaranya bising, sembari meniupkan angin ribut dari putaran baling-balingnya yang merentang 21,3 meter.
Tak mengherankan bila TNI Angkatan Darat (AD) berhasrat memiliki heli generasi 1980-an itu. Rencana pun disusun sejak tahun 2000 untuk membeli empat unit. Namun, sementara heli tempur itu masih di hanggar negeri asalnya, Rusia, angin ributnya telah menerpa ruang kerja para perwira tinggi TNI di pelbagai instansi, mulai Departemen Pertahanan (Dephan), Markas Besar (Mabes) TNI di Cilangkap, hingga Mabes TNI-AD di Merdeka Utara, Jakarta. Ada bau apek KKN merebak di balik proses transaksinya.
Bau apek itu makin menyengat, setelah Komisi I DPR-RI turun tangan menggoreng isu ini. Maka apa boleh buat, para pejabat militer, juga rekanannya, harus datang silih berganti ke Komisi I untuk menjelaskan duduk masalahnya. Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto ketika mendapat giliran menjelaskan dalam forum itu, ia menuding Dephan sebagai sumber masalah. Menurut dia, para pejabat Dephan sengaja menahan uang muka pembelian skuadron miniheli tempur itu. Nilainya US$ 3,2 juta, yang belakangan diketahui digantung sampai setahun. "Kalau tidak saya obrak-abrik, uang muka itu tak bakal dibayarkan," kata alumnus Akabri Darat 1971 itu. Sinyalemen korupsi pun merebak. Ketiadaan Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, yang terserang stroke, kata Endri lagi, malah membuatnya leluasa. "Saya bisa langsung maki-maki Sekretaris Jenderal Dephan Marsekal Madya Suprihadi dan Direktur Jenderal Perencanaan Strategi Pertahanan (Dirjen Rensishan) Mas Widjaja, sehingga pengadaan Mi-17-1V dapat terus berjalan," katanya. Ia mengingatkan, ada kemungkinan muncul perkara pidana dari situ.


Nama :
H. Matori Abdul Djalil
Lahir :
Salatiga, Jawa Tengah, 11 Juli 1942
Pendidikan :
• MIN dan SR, 1956
- SMP Negeri Salatiga
- SMA Negeri Salatiga
- Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Organisasi :
• Anggota Pandu Anshor (1955-1957)
- Ketua Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga
- Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga (1964-1968)
- Wakil Ketua DPC Partai NU Kabupaten Semarang/Kodya Salatiga (1968-1971)
- Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Komisariat Salatiga (1966-1968)
- Ketua II PW Anshor Jawa Tengah
- Wakil Sekretaris PW NU Jawa Tengah
- Sekretaris PW NU Jawa Tengah (1979-1982)
- Ketua DPC PPP Kabupaten Semarang
- Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah (1982-1987)
- Sekretaris Jenderal DPP PPP (1989-1994)
- Ketua Umum PKB (1998 hingga sekarang)
Karir:
• Wakil Ketua DPRD II Salatiga (1968-1971)
- Wakil Ketua DPRD II Semarang (1971-1977)
- Anggota DPRD I Jawa Tengah (1977-1987)
- Anggota DPR RI (1987-1992, 1992-1997)
- Anggota DPR dan Wakil Ketua MPR (1999-2001)
- Menteri Pertahanan Kabinet Gotong-Royong (2001-2004

YANGSUKSES-NAZARUDDIN


Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, MA :
7 Tahun Terjerat KPU
 golongan yang berada di menara gading, secara moral kaum cendekiawan bebas korupsi. Tapi semuanya mentah begitu saja ketika Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, MA terpilih menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU). Justru di lembaga yang merupakan representasi sistem demokrasi itulah, pria kelahiran Bireuen, Aceh, pada 5 November 1944 itu “tersandung”.
Nazaruddin Sjamsuddin menamatkan pendidikan sampai SMA di Provinsi yang sekarang bernama Nanggroe Aceh Darussalam itu. Setelah meraih gelar sarjana ilmu politik di Universitas Indonesia pada awal 1970, tahun-tahun berikutnya dihabiskan di Monash University, Melbourne, Australia, dimana ia memperoleh gelar MA dan PhD, juga dalam ilmu politik.
Karier sebagai pengajar ilmu politik di UI dirintisnya sejak 1968 ketika ia masih berstatus sebagai mahasiswa. Di UI pula ia menjabat Ketua jurusan Ilmu Politik, dari tahun 1982 1988. Sejak 1993 ia diangkat menjadi Guru Besar dalam ilmu politik pada Fakultas 1lmu Sosial dan Ilmu Politik dan Program Pascasarjana universitas yang sama.
Di luar UI antara lain ia pernah menjadi wartawan dan kemudian pemimpin redaksi Indonesia Magazine, peneliti pada Lembaga Riset dan Kebudayaan Nasional (LIPI), dan anggota kelompok kerja pada pelbagai instansi pemerintahan.
Pengalamannya dalam bidang pemerintahan meliputi Deputi Bidang Pengkajian dan Pengembangan BP 7 Pusat (1997 1999), Asisten Menteri Khusus (1997), serta Anggota MPR dan Badan Pekerja MPR (1997 1999). Dalam kegiatan profesi keilmuan, pada tahun 1985 ia ikut mendirikan dan sejak saat itu pula mengurus Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
Di antara karya ilmiah yang telah dihasilkannya adalah PNI dan Kepolitikannya (1984), The Republican Revolt (1985), Integrasi Politik di Indonesia (1989), Dinamika Sistem Politik Indonesia (1993), dan Revolusi di Serambi Mekah (1999).

Vonis 7 tahun.

Rabu (14 Desember 2005), Nazaruddin Sjamsuddin dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nazaruddin terbukti korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan diri sehingga merugikan keuangan negara Rp 5,03 miliar.
Majelis hakim yang dipimpin Kresna Menon juga memerintahkan Nazaruddin membayar uang pengganti Rp 5,03 miliar secara tanggung renteng dengan Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika dalam sebulan uang pengganti itu tidak dibayar, kekayaan Nazaruddin akan disita.
Meski putusan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa, kuasa hukum Nazaruddin, Hieronimus Dhani, langsung mengajukan banding. Sebelumnya jaksa menuntut Nazaruddin dihukum 8,5 tahun penjara, denda Rp 450 juta, dan membayar uang pengganti Rp 14,19 miliar secara tanggung renteng dalam tempo satu bulan.
Vonis atas Nazaruddin paling berat dibandingkan dengan putusan terhadap anggota KPU lainnya. Mulyana W Kusumah, misalnya, divonis dua tahun dan tujuh bulan penjara, Sussongko Suhardjo dua tahun dan enam bulan penjara, dan Hamdani dihukum empat tahun penjara.
Sidang pembacaan putusan itu diwarnai teriakan, tepuk tangan, dan cemoohan pengunjung. Saat pembacaan putusan baru sampai pada tuntutan jaksa, seorang anak Nazaruddin berteriak-teriak emosional. Namun, ia ditenangkan ibunya, Nurnida Sjamsuddin. Sidang pun kembali hening. Saat majelis hakim membacakan vonis tujuh tahun penjara, Nurnida mengucap, Masya Allah. Gila ya. Beberapa pengunjung sidang langsung kasak-kusuk. Beberapa di antaranya berkomentar bahwa majelis hendaknya belajar masalah asuransi. Ketika akhirnya Nazaruddin menyatakan banding, ruang sidang diriuhkan oleh tepuk tangan pengunjung.

Majelis menilai perbuatan Nazaruddin menandatangani perjanjian kerja sama pengadaan asuransi kecelakaan diri dengan PT Bumi Putera Muda (Bumida) melalui penunjukan langsung merupakan perbuatan melawan hukum. Pengadaan asuransi untuk lima juta petugas pemilu dengan total premi Rp 14,8 miliar itu dinilai bertentangan dengan Pasal 10 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (4), dan Pasal 2 Ayat (2) Keputusan Presiden No 80/2003.
Dari kegiatan itu, majelis menilai negara telah dirugikan Rp 14,193 miliar. Kerugian dihitung dari premi asuransi yang dibayarkan negara (Rp 14,8 miliar) dikurangi klaim yang diajukan KPU sebesar Rp 607 juta. Majelis hakim memerintahkan Nazaruddin mengembalikan uang Rp 5,032 miliar sesuai dengan diskon yang diberikan PT Bumida untuk KPU. Dakwaan pertama jaksa, Nazaruddin melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri/orang lain/badan usaha, telah terbukti.
Dakwaan kedua, yakni menerima hadiah atau janji dari orang lain yang patut diduga hadiah tersebut berhubungan dengan jabatannya, juga terbukti. KPU telah menilai uang dari rekanan KPU antara lain dari PT Astra, PT Bumida (dalam bentuk diskon), PT Pos Indonesia, dan PT Darma Bandar Mandala. Berdasarkan keterangan saksi, penerimaan dana rekanan direncanakan dalam dua kali rapat, yaitu rapat di Puncak dan di Jakarta. Alasannya, untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan staf KPU. Selanjutnya Nazaruddin memerintahkan Hamdani Amin menerima, menyimpan, dan membagikan uang tersebut kepada anggota KPU.
Majelis menilai, hal-hal yang meringankan Nazaruddin adalah selaku Ketua KPU ia sukses menyelenggarakan pemilu yang mendapat penghargaan nasional dan internasional, belum pernah dihukum, dan selama persidangan berlaku sopan.
Seusai sidang, Nazaruddin mengkritisi alur pikir majelis yang menilainya bersalah menandatangani surat kerja sama penutupan asuransi karena tidak dilakukan dalam rapat pleno. Apabila itu dinilai keliru, maka majelis hakim juga menilai putusan lain yang dibuatnya tanpa rapat pleno keliru.
Padahal, itu bukan satu-satunya tindakan atau kebijakan saya selaku Ketua KPU yang dibuat di luar rapat pleno. Begitu banyak kebijakan yang dibuat karena situasi mendesak tidak memungkinkan bagi saya mengundang anggota KPU hadir dalam rapat pleno. Salah satunya adalah menyatakan berlakunya surat suara tembus pada pemilihan presiden pertama, ujarnya.
Jika mengikuti alur pikir majelis, lanjut Nazaruddin, keputusan memberlakukan surat suara tembus juga tidak sah. Ini berarti pemilihan presiden kedua juga tidak sah sehingga harus diulang.
Ditanya mengapa Nazaruddin menyamakan dua hal yang berbeda, ia mengatakan, hal itu dilakukan setelah majelis menyampaikan fakta bahwa kebijakannya menutup asuransi adalah tidak sah. Maka, saya juga menyampaikan fakta lain bahwa pemberlakuan surat suara tembus dua lubang yang seharusnya tidak sah menjadi sah juga dilakukan tanpa rapat pleno, ucapnya.
Anggota tim penasihat hukum Nazaruddin, Nurhasyim Ilyas, mengatakan, hakim telah melakukan penerapan hukum yang tidak tepat. Tidak ada maksud jahat Nazaruddin. Beliau hanya tanda tangan surat yang ada di atas mejanya yang sudah diproses sekjen, ujarnya.
Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II) menilai pernyataan Nazaruddin bahwa pemilu harus diulang adalah berlebihan. Ini korupsi. Pernyataan Ketua KPU itu pernyataan politik, katanya.
Ia menyarankan agar Nazaruddin membuka semua hal yang sebenarnya terjadi di KPU. Seakan-akan karena ia mengeliminasi kasus, ia terkena hukuman berat.

Nama:
Prof Dr Nazaruddin Sjamsuddin, MA
Lahir:
Bireuen, 5 November 1944
Agama:
Islam
Istri:
Ny. Nurnida
Anak:
empat orang
Pendidikan
S1, FISIP UI
MA, Monash University, Australia
PhD, Monash University, Australia
Pekerjaan:
- Ketua KPU, 2002-2007
- Guru Besar FISIP UI
- Deputi Bidang Pengkajian dan Pengembangan BP 7 Pusat (1997 1999)
- Asisten Menteri Khusus (1997)
- Anggota MPR dan Badan Pekerja MPR (1997 1999)
Karya Ilmiah:
- PNI dan Kepolitikannya (1984)
- The Republican Revolt (1985)
- Integrasi Politik di Indonesia (1989)
- Dinamika Sistem Politik Indonesia (1993)
- Revolusi di Serambi Mekah (1999).

YANGSUKSES-NURDIN


Nurdin Halid :
Gara-gara Gula Impor Ilegal
Sekali lagi, Ketua Umum Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) yang juga Ketua Dewam Koperasi Indonesia (Dekopin), Ketua Umum PSSI dan Anggota DPR-RI dari Partai Golkar (1999-2004), Nurdin Halid, ditetapkan jadi tersangka. Jika sebelumnya ia pernah berstatus tersangka kasus korupsi dana Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) dan Puskud Hasanuddin Makassar, kali ini dalam kasus gula impor ilegal.
Pria kelahiran Watampone, 17 November 1958, ini ditangkap dan ditahan polisi hari Jumat 16 Juli 2004, setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyelundupan gula impor ilegal sebanyak 73.520 ton. Penangkapan dilakukan setelah ia menjalani pemeriksaan selama lebih dari sembilan jam.
Ketika Nurdin pernah jadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) dan Puskud Hasanuddin Makassar, ia dibebaskan pengadilan. Dalam statusnya sebagai tersangka ketika itu, ia terpilih menjadi Ketua Umum PSSI periode 2003-2007 dalam kongres PSSI di Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (21/10/03) malam. Saat itu, Nurdin dengan tegar mengatakan, ketika (kapal) Phinisi berlayar, pantang surut sebelum sampai tujuan.
Kondisi hampir sama terulang pula pada saat dirinya dipanggil polisi dalam kaitannya dengan kasus gula impor ilegal, Nurdin malah terpilih kembali menjabat Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) periode 2004-2009 dalam Munas Dekopin ke-57 di Hotel Aryaduta, Jakarta 15 Juli 2004.
Lalu sehari kemudian, 16 Juli 2004, anggota Fraksi Partai Golkar DPR, itu memenuhi panggilan polisi, diperiksa, ditetapkan jadi tersangka kasus gula impor ilegal dan ditangkap.
Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung menegaskan, Nurdin ditetapkan sebagai tersangka karena sebagai Ketua Umum Inkud, dia mengetahui dan bertanggung jawab atas impor gula ilegal tersebut.
Suyitno kepada pers mengatakan, pemeriksaan kepada Nurdin oleh penyidik Polri difokuskan pada soal pertanggungjawaban pengurus Inkud, termasuk ketua umum, atas impor gula putih ilegal yang kini disita polisi. Dalam pemeriksaan, Nurdin didampingi penasihat hukumnya, Edison Betaubun.
Sebagaimana diberitakan Kompas 17 Juli 2004, kasus gula ilegal mulai terungkap pada awal Juni 2004. Saat itu ada sebuah kapal tengah membongkar ribuan ton gula. Padahal masa impor gula sudah berakhir 30 April 2004. Kemudian ditelusuri, dari aparat Bea dan Cukai (BC) ditemukan manifes kapal. Dalam manifes Panthai Shipping Ltd disebutkan, importir atau penerima barang adalah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, PT Phoenix Commodities, dan Inkud.
Dalam manifes itu disebutkan dua kapal MV Sonamu dan MV Cakra Kembar mengangkut gula impor sekitar 8.750 ton. Disebutkan pula pengirimnya adalah Pacific Sugar Corporation Limited, Thailand. Gula sebanyak itu sudah berada di gudang Hobros (Cilincing) dan gudang BGR (Kelapa Gading). Atas temuan manifes itu, pihak PTPN X lewat direktur utamanya, Duduh Sadarachmat, membantahnya.
Dari aparat BC ditemukan pula surat permohonan pengeluaran barang dari pelabuhan yang ditandatangani seorang anggota direksi PTPN X Irwan Basri, dan ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan BC Tipe A Tanjung Priok. Isinya, memohon dikeluarkannya barang dari pelabuhan ke TPS untuk gula impor sebanyak 8.800 ton yang diangkut kapal MV Sonamu dan KM Cakra Kembar. Surat itu pun dibantah PTPN X.
Atas temuan 8.750 ton gula impor itu, Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) Rini MS Soewandi melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke gudang Hobros dan BGR, 10 Juni lalu. Dalam sidak itu ditemukan beberapa hal yang dinilai aneh.
Berdasarkan sidak di kedua gudang itu Rini meminta stafnya mengecek penyewa dan pemilik gudang. Dari hasil pengecekan tersebut diketahui bahwa kunci gudang “dipegang” oleh Inkud dan PT Sucofindo. Juga diperoleh informasi ada gula lain yang disimpan di kedua gudang tersebut
Dalam catatan sejarah peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kasus bebasnya Nurdin dari dakwaan sebagai tersangka kasus Korupsi Dana Bulog, ternyata semakin menguatkan dugaan cap PN Jakarta Selatan sebagai pengadilan yang sering membebaskan terdakwa tindak pidana korupsi. Bahkan menurut data ICW dan berbagai sumber lainnya, tidak kurang dari 13 kasus korupsi kelas kakap yang telah divonis bebas, lepas atau dihentikan oleh PN Jaksel.

Ketua Umum PSSI
Nurdin Halid terpilih menjadi Ketua Umum PSSI periode 2003-2007 dalam kongres PSSI di Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (21/10/03) malam. Ia meraih 183 suara dalam pemilihan putaran kedua, unggul atas Jacob Nuwa Wea. Setelah terpilih, ia menjanjikan segera akan mengumpulkan beberapa unsur penting dalam sepak bola, yakni Pengurus Daerah (Pengda) PSSI, klub, perserikatan, wasit, maupun pelatih guna menyamakan persepsi soal hasil keputusan kongres.
Menurutnya, semakin berkualitas klub-klub mengelola dan melahirkan tim utamanya, semakin banyak pemain andal yang lahir, maka semakin besar peluang bagi timnas untuk berbicara lebih di percaturan internasional. PSSI, katanya, harus punya garis yang tegas soal siapa yang bertugas mencetak pemain dan siapa yang bertindak membentuk timnas. Kompetisi amatir harus pula dikelola dengan baik di daerah dan ini merupakan tugas pengda.
Nurdin juga menyoroti masalah mafia wasit maupun pengaturan skor di hampir semua pertandingan resmi Divisi Utama, I dan II. Untuk mengatasi masalah pelik ini, ia akan menerapkan kesalahan teknis sebagai hukuman. ‘’Jika kedapatan wasit berbuah salah di lapangan, semakin banyak kesalahan, semakin besar pula sanksinya. Denda uang juga akan saya berlakukan.’’
Mengenai jadwal kompetisi yang biasanya lambat disusun, ia mengatakan akan mengeluarkan jadwal lebih awal. Hal itu untuk memberikan kesempatan kepada klub dalam mempersiapkan diri. Jadwal kompetisi Divisi Utama, I, dan II akan pula disesuaikan dengan kalender Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).
Ia bertekad tidak akan menolerir penyakit lama, di mana jadwal kompetisi bentrok dengan jadwal timnas. Keduanya harus berjalan seimbang dan bersinergi.

Nama : Nurdin Halid
Lahir : Watampone, 17 November 1958
Agama : Islam
Isteri:Andi Nurbani
Anak:Lima putra dan satu putri
Jabatan:
Ketua Umum Induk Koperasi Unit Desa (Inkud)
Ketua Umum
Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) periode 2004-2009
Ketua Umum PSSI 2003-2007
Anggota Fraksi Partai Golkar DPR-RI 1999-2004

YANGSUKSES-ROBY JOHAN


Robby Djohan :
Kiat Handal ‘ Si Tukang Catut’
Robby Djohan, dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, mantan bankir, mantan chief executive officer (CEO) pada beragam perusahaan raksasa, berhasil mengukir berbagai prestasi. Ia merintis karier di Citibank, kemudian membesarkan Bank Niaga, menyelamatkan perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, dan mengantarkan mahamerger beberapa bank BUMN menjadi Bank Mandiri.
Penerima penghargaan The Best CEO 2000 dan CEO Terbaik di Masa Krisis, yang diadakan Majalah Swa dan Asian Market Intelegence (AMI), ini hari Kamis (12/6) malam, meluncurkan bukunya bertajuk The Art of Turn Around, Kiat Restrukturisasi.
Buku setebal 334 halaman dari Penerbit Aksara Karunia tersebut merupakan perpaduan antara biografi dan sejumlah kiat bisnis, dipetik dari segala macam pengalaman yang telah puluhan tahun digelutinya.
Mulai dari perjalanannya sejak berjualan kue basah di zaman Jepang saat duduk di sekolah dasar, menjadi tukang catut ketika di SMA dan mahasiswa, lalu merintis karier di Citibank sampai 1976, membesarkan Bank Niaga, menjabat Dirut Garuda Indonesia, memimpin Bank Mandiri sampai 23/5/2000, dan pengalaman mengelola sejumlah bisnis pribadi.
Pria yang mengaku memiliki karakter cenderung bebas dengan tendensi urakan, slebor atau cuek ini dilahirkan tanggal 1 Agustus 1938 di Semarang. Ia dikaruniai tiga putri cantik (Indira Purwita, Sandra Praditya, Irma Damayanti) buah kasih dengan isteri Nanan Hadiretna. Anggota World Economi Forum berbintang saya Leo dengan shio Macan ini berasal dari keluarga berlatar belakang aneka macam.
Ibunya keturunan Indo-Belanda beragama Katolik. Ayah orang Pontianak masih keturunan Arab dari pihak nenek, beragama Islam dan pernah bekerja di duane di Semarang, Medan, kemudian Singapura.
Kakak beradik dalam keluarganya, tiga orang beragama Katolik, dua Islam. Ia sendiri beragama Islam. Maka, sudah sejak kecil ia selalu merayakan Lebaran sekaligus Natal. Jika semua keluarga berkumpul, terasa keakraban oleh karena ia sering jauh dari mereka. Namun walau jauh, komunikasi di antara mereka tetap berlangsung intens.
Dalam lingkungan bisnis, ia termasuk sosok andalan. Ketika di Bank Niaga, ia mengangkat bank yang tadinya tidak terkenal itu menjadi bank swasta nomor dua terbesar di Indonesia. Pengalaman sangat spektakulernya adalah ketika selama enam bulan ia dipercaya memimpin Garuda.
Saat itu ia langsung dihadapkan pada situasi yang disebutnya sebagai, “… negative networth gila-gilaan, sebab utang (liabilities) jauh lebih besar dibanding harta (asset), sehingga saldonya negatif. Bottom line sudah merah, begitu juga saldo ditahan (retained earning) juga telah negatif. “Pada posisi demikian, praktis tinggal dua hal yang akan bisa dilakukan yakni menambah modal atau melikuidasi,” katanya.
Namun, sebagai bankir, membaca posisi keuangan sangat buruk semacam itu tetap bukan berarti datangnya kiamat. “Kalau kita reevaluasi aset sesuai market, maka negative networth akan menjadi kecil.
Yang penting, dia bukan bebas cash (noncash-charge), dan negative networth akibat akumulasi kerugian bisa diatasi. Yang perlu dijaga, Garuda tidak boleh rugi, cash flow harus positif. Selain itu, juga harus dijaga posisi serasi antara aset dalam rupiah serta liability dalam dollar AS,” tegasnya.
Kalau hanya berpikir seperti ketika sedang mengelola perusahaan biasa, ia pasti akan melakukan likuidasi. Tetapi, akhirnya ia memilih peluang restrukturisasi mengingat Garuda adalah pembawa bendera Indonesia sehingga terdapat ikatan emosional pada masyarakat luas serta kebanggaan yang sulit dihapuskan.
Restrukturisasi berarti membuang yang jelek dengan melakukan perubahan mendasar berupa perubahan manajemen, kepemimpinan, operasional dan pendekatan pasar. Tujuannya satu, agar nilai pasar Garuda bisa meningkat.
Sesudah berhasil mengatasi tantangan dari dalam, ia segera melakukan program restrukturisasi. Sesudah dua bulan memimpin Garuda (termasuk memindahkan kantor ke Bandara Soekarno-Hatta agar bisa langsung memantau situasi lapangan), ia pun berhasil memutar haluan Garuda dari nyaris bangkrut menjadi maskapai penerbangan yang tetap terbang, sekaligus bisa menguntungkan.
Namanya makin berkibar ketika ia berhasil menyelamatkan Garuda. Saat itu ia juga berani menghadapi demonstrasi karyawan yang menyambutnya sewaktu baru masuk ke Garuda. Dengan tenang ia datang menghadapi serta memberi penjelasan secara rinci dan terbuka atas semua kebijakan yang sedang, telah, dan akan dia ambil.
Menurutnya, seseorang bisa naik menjadi pemimpin puncak tentu sesudah ia lolos dalam berbagai macam seleksi sejak merangkak dari bawah. Dengan demikian, ketika sudah berada di atas, ia harus berani bertindak dengan memanfaatkan kekuasaan yang otomatis akan datang melekat pada diri seorang pemimpin.
“Banyak pemimpin, di perusahaan atau pemerintahan, bertindak sebagai manajer, senang terlibat dalam proses. Tetapi, yang kita butuhkan sekarang justru pemimpin, leader dan leadership, orang yang bisa melihat perubahan sebagai potensi, memberi gagasan, inspirasi dan arah, serta punya kepemimpinan tegas,” katanya.
Ia pun mengungkapkan khotbah seorang ustadz, ketika suatu Jumat tanpa sengaja ia shalat di sebuah masjid kecil di tengah kampung di sudut Metropolitan Jakarta. Ustadz yang terlihat sebagai orang kebanyakan, sama sekali bukan sosok terkenal dengan amat prihatin dan pandangan terasa jernih sekali, berkata, “…negara kita kacau-balau karena tidak pernah ditangani serius.”
“Kita tidak pernah serius ketika mengerjakan sesuatu, maka jadinya… ya selalu seperti yang kita lihat dan alami,” ujar pria yang dikenal berjiawa terbuka, terus terang, tangkas bertindak, dan berani mengemukakan segala sesuatu dengan kalimat jelas.

Nama:
Robby Djohan
Lahir:
Semarang, 1 Agustus 1938
Agama:
Islam
Isteri:
Nanan Hadiretna
Anak:
Indira Purwita, Sandra Praditya dan Irma Damayanti
Main Job:
City Bank, membesarkan Bank Niaga, menyelamatkan perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, dan mengantarkan mahamerger beberapa bank BUMN menjadi Bank Mandiri.
Pekerjaan Lainnya:
Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia
Pendidikan:
Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung 1968
Penghargaan:
The Best CEO 2000 dan CEO Terbaik di Masa Krisis, yang diadakan Majalah Swa dan Asian Market Intelegence (AMI)
Buku:
The Art of Turn Around, (Kiat Restrukturisasi), Penerbit Aksara 2003

YANGSUKSES-SARWATA


Sarwata :
Mantan Ketua MA yang Tak Pernah Marah 
 Ketua Mahkamah Agung Sarwata bin Kertotenoyo, SH yang dikenal nyaris tak pernah marah itu mengembuskan napas terakhir pada usia 68 tahun hari Minggu 3/8/03 pukul 13.50, di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta, akibat komplikasi kanker usus, gejala stroke, dan fungsi ginjal yang menurun. Marsekal Madya (Purn) TNI itu meninggalkan seorang istri, Sri Hartini, dan empat anak serta tujuh cucu.
Jenazah disemayamkan di rumah duka Jalan Pejaten Mas III Blok G No 3, Jakarta Selatan. Dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Senin 4/8/03 pukul 10.00 dalam sebuah upacara militer yang dipimpin Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Chappy Hakim. Sebelum dimakamkan, almarhum disholatkan terlebih dahulu di mesjid sekitar rumah duka.
Ia dikenang para kerabatnya sebagai orang yang tidak pernah marah. Saat menjabat Ketua MA 1 November 1996 – 1 Agustus 2000, ia membina hubungan yang sangat dekat dengan para rekan sejawat dan pegawai kecil sekalipun.
Sarwata lahir di Tebingtinggi, 2 Juli 1935. Ia menyelesaikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 1962, Sekolah Dasar Perwira Tahun 1962, Sekolah Ilmu Siasat tahun 1969, Sekkau tahun 1971 dan Sesko-AU tahun 1973.
Ia mengawali karir di Departemen Luar Negeri sebagai ahli tata usaha pada direktorat hukum. Namun, dua tahun kemudian ia meninggalkan Deplu dan mengikuti Sekolah Dasar Perwira TNI Angkatan Udara, untuk meraih pangkat letnan satu. Lalu, ia pun menekuni karir sebagai hakim militer pada tahun 1964. Hanya dalam setahun, karirnya sebagai hakim militer semakin menanjak tatkala ia menduduki jabatan Ketua Pengadilan TNI Angkatan Udara Yogyakarta, pada tahun 1965.
Setahun kemudian (1966), ia pun dilantik sebagai Hakim Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) oleh Pangkopkamtib Mayjen TNI Soeharto. Sarwata mengadili tokoh-tokoh militer yang terlibat G-30 S/PKI, seperti Utomo Ramelan dan Josep Rabidi (1967), serta Sjam Kamaruzzaman (1968). Tahun 1968 karirnya menanjak lagi sebagai hakim militer tinggi. Kepala Mahkamah Militer Jakarta (1979), dan Asisten Operasi Badan Pembinaan Hukum ABRI (1983) dan menanjak menjadi Ketua Mahkamah Militer Tinggi III/IV Ujungpandang (1984).
Tahun 1991 ia menjabat sebagai hakim agung MA dan sejak Februari 1993 menjabat Ketua Muda MA Bidang Peradilan Militer hingga dilantik menjabat Ketua MA menggantikan Soerjono yang pensiun 1 November 1996. Sarwata sendiri pensiun 1 Agustus 2000, namun kursi Ketua MA baru diisi Bagir Manan pada 5 Mei 2001.
Sebelum berkiprah di MA, saat masih berpangkat kolonel, ia menjabat Dirjen Agraria. Pada pertengahan tahun 1980-an itu, Sarwata juga dipercaya menjabat Ketua Tim Tanah yang dibentuk presiden dan menjadi Asisten Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Ia pun menjabat sebagai Ketua Tim Koordinasi Pengawasan Khusus MA untuk menangani isu kolusi di lingkungan MA. Pernah juga menjabat staf Ahli Mendagri dan Staf Ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan. Setelah empat tahun meninggalkan dunia peradilan, pada tahun 1991, ia diangkat sebagai hakim agung, hingga terakhir menjabat Ketua MA. Ia juga telah memperoleh beberapa tanda penghargaan.

Nama:
Sarwata bin Kertotenoyo, SH
Lahir:
Tebingtinggi, 2 Juli 1935
Meninggal:
Jakarta, 3 Agusutus 2003
Isteri:
Sri Hartini
Anak:
Empat orang
Jabatan Terakhir:
Ketua Mahkamah Agung 1996-2000
Pangkat:
Marsekal Madya (Purn) TNI
Pendidikan:
S-1 Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 1962, Sekolah Dasar Perwira Tahun 1962, Sekolah Ilmu Siasat tahun 1969, Sekkau tahun 1971 dan Sesko-AU tahun 1973.
Karir:
Staf ahli tata usaha pada direktorat hukumDepartemen Luar Negeri.
Hakim militer 1964.
Ketua Pengadilan TNI Angkatan Udara Yogyakarta, 1965.
Hakim Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) 1966.
Hakim militer tinggi 1968.
Kepala Mahkamah Militer Jakarta (1979).
Asisten Operasi Badan Pembinaan Hukum ABRI (1983).
Ketua Mahkamah Militer Tinggi III/IV Ujungpandang (1984).
Dirjen Agraria dan Ketua Tim Tanah, Asisten Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, staf Ahli Mendagri dan Staf Ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan 1986.
Hakim agung MA 199
Ketua Muda MA Bidang Peradilan Militer 1993
Ketua MA 1996.

YANGSUKSES-SELO SUMARJAN


Sosiolog dengan komitmen sosial yang tinggi
Seorang lagi putera bangsa terbaik telah tiada. Ia ‘Bapak Sosiologi Indonesia’ Prof Dr Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan (88), meninggal dunia Rabu 11/6/03 pukul 12.55 di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, karena komplikasi jantung dan stroke. Sosiolog yang mantan camat kelahiran Yogyakarta, 23 Mei 1915 ini dikebumikan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari Kamis 12/6/03 pukul 12.00 WIB. Penerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).
Ia meninggalkan lima anak, 15 cucu dan dua cicit. Istrinya, RR Suleki Brotoatmodjo, dan putra keduanya, Budihardjo, sudah lebih dulu berpulang. Jenazah disemayamkan di rumah kediaman Jl Kebumen 5, Menteng, Jakarta Pusat. Sangat banyak kerabat yang melayat, sehingga jalan sekitar sempat macet karena banyaknya kendaraan yang diparkir.
Kemudian Kamis (12/6) pukul 06.00, jenazah diterbangkan ke Yogyakarta, kota kelahirannya (Jl Kemetiran Kidul II/745, Kuncen) dengan pesawat Garuda GA 200. Jenazah akan disemayamkan di Masjid Kuncen sebelum dimakamkan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta, hari ini pukul 12.00 WIB.
Salah seorang anaknya mengatakan hari Senin pukul 05.00, beliau mulai dirawat di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita karena gangguan jantung. Rabu pukul 10.30 kena stroke. Dokter berusaha keras memberi bantuan pernapasan lewat alat-alat pernapasan, tetapi karena jantungnya terus melemah, usaha tersebut gagal. Sosiolog ini meninggal di tengah keluarga dan kerabat. Sekitar pukul 09.00 almarhum masih sempat tertawa-tawa menonton acara televisi yang memutar film Benyamin Samson Betawi. Tetapi, sekitar pukul 11.00 ia terlihat sesak napas.
Almarhum meninggalkan contoh yang baik, teladan, bukan hanya bgi keluarga tetapi bagi kerabat dan masyarakat umum. Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia ilmuwan yang meninggalkan banyak bekal ilmu pengetahuan. Sebetulnya ia sudah purnatugas di Universitas Indonesia (UI). Tapi, karena masih dibutuhkan, ia tetap mengajar dengan semangat tinggi. Ia memang seorang sosok berintegritas, punya komitmen sosial yang tinggi dan sulit untuk diam.
Ia orang yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya, Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia seorang dari sedikit orang yang sangat pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat.
Tidak heran jika banyak kalangan yang melayat ke rumah duka menyampaikan belasungkawa. Di antaranya Dekan FISIP UI Gumilar Rusliwa Sumantri dan Rektor UI Usman Chatib Warsa, Wakil Rektor Arie S Soesilo, mantan Mendikbud Fuad Hassan, Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI Miriam Budiardjo, mantan Ketua LIPI Taufik Abdullah, Ketua LIPI Anggara Jeni, Ketua LKBN Antara Muhammad Sobary, tokoh pers Jacob Oetama, pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo, Sosiolog Paulus Wirutomo, rohaniwan dan budayawan Mudji Sutrisno SJ, Melly G Tan, sejarawan Taufik Abdullah, politisi dan musisi Eros Djarot serta antropolog Prof Dr Ichromi.
Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto.
Ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 -- seusai meraih gelar doktornya di Cornell University, AS -- mengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Pendiri FISIP UI ini, memperoleh gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI dan sampai akhir hayatnya justeru mengajar di Fakultas Hukum UI.
Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali," tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas.
Pengalamannya sebagai camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan peneliti lain.
Mendiang Baharuddin Lopa dalam salah satu tulisannya di Kompas (1993) menulis, "Pak Selo menggali ilmu langsung dari kehidupan nyata. Setelah diolah, dia menyampaikan kembali kepada masyarakat untuk dimanfaatkan guna kesejahteraan bersama." Lopa menilai Selo sebagai dosen yang mampu mendorong mahasiswanya berpikir realistis dan mengerti serta menghayati apa yang diajarkannya. "Pendekatan realistis dan turun ke bawah untuk mengetahui keadaan sosial yang sesungguhnya inilah yang dicontohkan juga oleh para nabi dan kalifah," tulis Lopa.
Meski lebih dikenal sebagai guru besar, Selo jauh dari kesan orang yang suka "mengerutkan kening". Di lingkungan keluarga dan kampus, dia justru dikenal sebagai orang yang suka melucu dan kaya imajinasi, terutama untuk mengantar mahasiswanya pada istilah-istilah ilmu yang diajarkannya. "Kalau menjelaskan ilmu ekonomi mudah dimengerti karena selalu disertai contoh-contoh yang diambil dari kehidupan nyata masyarakat," kenang Baharuddin Lopa.
Dalam tulisan Lopa, Selo juga digambarkan sebagai orang yang bicaranya kocak, tetapi mudah dimengerti karena memakai bahasa rakyat. Meski kata-katanya mengandung kritikan, karena disertai humor, orang menjadi tidak tegang mendengarnya.
Menurut putra sulungnya, Hastjarjo, Selo suka main. "Setiap hari selalu memainkan tubuhnya berolahraga senam. Karena terkesan lucu, cucu-cucu menganggap bapak sedang bermain-main dengan tubuhnya," tambahnya.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963). Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002 diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.

Nama:
Prof Dr Kanjeng Pangeran Haryo Selo Soemardjan
Lahir:
Yogyakarta, 23 Mei 1915
Meninggal:
Jakarta, 11 Juni 2003
Dimakamkan:
Yokyakarta, 12 Juni 2003
Gelar:
Bapak Sosiologi Indonesia
Isteri:
RR Suleki Brotoatmodjo (almarhumah)
Anak:
Lima orang
Cucu:
15 orang
Cicit:
Dua orang
Pendidikan:
Doktor Cornell University, AS
Karir:
Pengajar sosiologi di Universitas Indonesia (UI)
Pendiri sekaligus dekan pertama (10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang FISIP) UI.
Gelar profesor dari Fakultas Ekonomi UI
Camat di Kabupaten Kulonprogo.
Pegawai Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
Kepala Staf Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya
Kepala Sekretariat Staf Keamanan Kabinet Perdana Menteri
Kepala Biro III Sekretariat Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan
Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978)
Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-1983)
Staf ahli Presiden HM Soeharto.
Karya:
Social Changes in Yogyakarta (1962)
Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963)
Desentralisasi Pemerintahan
Penghargaan:
Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah 17 Agustus 1994
Gelar ilmuwan utama sosiologi 30 Agustus 1994
Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002