Minggu, 24 Maret 2013

Uang bikin serakah




Tidak ada satu pun orangtua yang ingin anaknya miskin. Semua ingin anaknya jadi orang kaya, tujuh turunan kalau bisa. Kaya raya, banyak uang, sukses secara finansial. Anehnya, tidak banyak orangtua yang secara terang-terangan mendidik dan mengarahkan anaknya untuk menjadi orang kaya.
Kebanyakan orangtua lebih mengarahkan dan mendidik anaknya untuk jadi orang pandai. Pintar dalam pendidikan skolastik (membaca, menulis, berhitung) dan pintar dalam pendidikan profesional (kedokteran, insinyur, kepengacaraan, kemiliteran, dsb). Dan untuk itu, mereka mewajibkan anak-anaknya bersekolah, kalau perlu sampai ke negeri seberang. 
Ada kelompok masyarakat tertentu yang memandang bekerja mencari keuntungan finansial (berdagang, berusaha) tidak semulia bekerja mencari ilmu, membela negara, atau mengabdi sesama. Ada juga faktor prejudice. Sebagian orang berprasangka, orang kaya identik dengan sifat sombong, kikir dan eksklusif. Lalu ada lagi faktor pertimbangan praktis. Menjadi orang kaya itu, menurut sebagian orang, repot. Padahal di sisi lain, menjadi kaya – selain merupakan hak asasi sepanjang caranya tidak merugikan orang lain - sebenarnya membawa banyak manfaat pula. Bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri dengan lebih layak tanpa harus tergantung pemberian orang juga bisa memberi nafkah dan mata pencaharian bagi orang lain. Selain tentunya bisa menyantuni kerabat serta menyumbang orang maupun badan sosial lebih banyak. Bahkan bisa menjamin kesejahteraan diri sampai masa tua kelak. 
Terlepas dari itu semua, di masa sekarang – apalagi di masa depan – kita tampaknya memang tidak bisa lagi mengharapkan kemakmuran dan keterjaminan finansial seumur hidup dari siapa pun. Tanda-tandanya cukup banyak. Misalnya, tidak banyak lagi perusahaan atau majikan yang menyediakan tunjangan pensiun. Tanda lainnya? Semakin banyak penerima pensiun yang hidup susah karena uang pensiunnya begitu kecil. Dan semakin banyak sarjana menganggur atau tidak digaji layak. 
Melihat gelagat semacam ini, tak ada jalan lain, orangtua perlu lebih memastikan anaknya akan mampu menjadi orang kaya atau setidaknya mampu menghasilkan dan mengelola uang untuk menjamin kebutuhan finansialnya sepanjang hidup. 
Pemahaman terhadap konsep uang-lah yang mempengaruhi sikap anak terhadap uang. Dan sikap terhadap uang mencakup banyak aspek: penghargaan terhadap nilai nominal uang (arti lima ribu rupiah untuk anak yang berbeda konsep uangnya, tak akan sama); sikap terhadap keabsahan asal-usul uang (didapat secara legal atau ilegal?); sikap terhadap cara memperoleh uang (dengan bekerja dan berusaha sendiri atau sekadar meminta?), hingga cara menggunakan uang (memboroskan atau mengeluarkan secara cerdas dan cermat). 
Bekerja meneteskan keringat, misalnya, adalah cara paling tua untuk memperoleh bayaran (upah/gaji). Bahkan istilah gaji atau salary (berasal dari bahasa Romawi, salarium, yang berarti garam) sebenarnya secara tidak langsung mengabadikan hubungan antara bekerja dan bayaran (tentara Romawi kala itu dibayar dengan bungkahan garam). 
Belakangan, muncul konsep – sebut saja ‘kontemporer’. Robert T. Kiyosaki bisa dibilang orang pertama yang menepis konsep klasik ‘bekerjalah untuk mendapat uang’, dengan menawarkan konsep ‘uanglah yang harus bekerja untuk kita’. Pengertian ‘uang bekerja untuk kita’ kurang lebih adalah menginvestasikan atau memutar sejumlah uang dalam bidang apa saja, sehingga bisa mengalirkan uang ke saku kita tanpa perlu kehadiran kita 7-8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Sederhananya, dalam soal uang, Kiyosaki menganjurkan orang untuk memiliki menjadi – paling tidak memiliki mentalitas – pengusaha atau investor. 
Untuk mendidik anak agar mampu menjadi orang kaya (atau minimal mampu menghasilkan dan mengelola uang), Anda tidak harus memakai konsep uang Kiyosaki atau siapa pun. Yang penting, konsep itu bisa membantu mengembangkan ketrampilan finansial anak. Apakah ketrampilan finansial itu? Menurut Safir Senduk, konsultan perencanaan keuangan, keterampilan finansial setidaknya ada lima: (1) mampu berbelanja secara bijak (2) mampu menyimpan dan mengembangbiakkan uang yang dimiliki (3) mandiri (4) berani mengambil risiko, dan (5) bisa menjual diri. Maka uang pun bikin orang serakah. Keadaan itu melukiskan keadaan yang tidak wajar. Namun apapun yang dilakukan, bila berlebihan, dan menimbulkan ketidakwajaran, kita beri nama khusus, antara lain nama-nama di atas tadi. 
Ada kecenderungan manusia menyediakan waktu dan tempat yang utama bagi hal-hal yang berkaitan tugasnya. Hal ini terlihat jelas dalam hidup sehari-hari. Waktu dan pikiran seorang pendidik lebih dipenuhi hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan begitu juga pemilik bengkel motor, pikirannya dipenuhi hal yang berkaitan dengan reparasi motor. Kuasa yang kita beri pengutamaan akan memberi warna tabiat kita. 
Kedua kuasa itu hadir sebagai perwujudan dari pemenuhan bahan dasar penciptaan manusia, bahan fana dari bumi dan nafas kehidupan (berasal dari Allah). Peringatan dalam ayat acuan di atas, agama maksudkan supaya kita tidak mengutamakan tuntutan pemenuhan keinginan bahan fana karena bukan itu yang utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar